Wednesday, June 09, 2010

Ayo Lihat Diri Kita di Pesta

Ratusan orang yang berkumpul di ruang besar dan megah itu serentak menyerbu ke beberapa arah strategis dan berdesak desakan disana. Persis seperti besi besi yang berlarian mendekati magnet. Dan bagi ratusan orang itu, termasuk saya, magnet itu adalah buffet makanan lezat yang disediakan sang empunya hajat. Saya mencoba antri dengan tertib, tetapi rusaknya rantai antrian menyebabkan orang ‘menyerang’ meja hidangan dari segala arah. Saya merasa seperti ditengah singa singa kelaparan sedang mengeroyok makanan buruannya yang tak berdaya. Kami tidak pernah sampai di meja hidangan. Dan akhirnya menyerah. Setelah salam dan pamit dengan sang pengantin, saya pulang segera, tanpa kesempatan menikmati hidangan yang setelah beberapa saat bentuk rupa nya sudah hancur tak karuan membuat selera menguap.

Sebagai peminat etika publik, saya sering mengamati perilaku para undangan pesta pernikahan atau perayaan lainnya yang biasanya digelar di gedung pertemuan seperti ini, dan ceritanya selalu sama. Ada apa sih dengan kita? Tulisan pendek ini mencoba menggugah kesadaran kita akan pentingnya memperhatikan hal hal sederhana yang berkaitan dengan etika kita di acara pesta.

Kelaparan?
Barangkali ya, berhubung biasanya siapkan perut sekosong mungkin sebelum pergi ke pesta, kita berlapar lapar dahulu, berkenyang kenyang kemudian. Nah kalau pesta dan prosesi nya memakan waktu lama, bukankah perut tambah lapar? Sebab itu antrian berdesakan, dorong dorongan, nyerobot antrian, berebutan sudah menjadi hal lumrah di acara begini. Biarpun antrian nya adalah bakso dan sop yang jika kesenggol dikit, wah selamat deh, bisa terguyur kuah panas…siapa peduli? Sudah elu elu gue gue kalau begini. Lha, beda beda tipis deh sama antrian beras miskin …
Tapi coba pikir lagi deh, siapa tahu kita malu diri sedikit. Biasanya kan yang di undang pesta seperti ini bukan lah orang orang berkeadaan khusus yang makan enak mungkin cuma setahun sekali di hari raya, atau yang hidup segan mati tak mau. Iya kan? Pantas dong, kalau kita beradab sedikit, dan mengantri dengan tertib? Malu juga deh dengan baju keren yang kita kenakan kalau tidak menunjukkan kelas sejati kita. Jika antrian kacau dan makanan sudah jadi rebutan, tinggalkan saja antrian itu. Alih alih makan enak, kita bisa nyengir sakit hati ketumpahan kuah yang bikin baju mesti di laundry. Atau sudah capek capek ngantri, ternyata tak kebagian. Sudahlah relakan saja amplop dengan beberapa lembar rupiah merah itu. Tidak usah pikir pikir enggak balik modal karena tidak kebagian makanan hahaha.

Nanti Enggak Kebagian
“Ayo cepetan! Nanti gak kebagian…” begitu biasanya yang sering kita dengar di kanan kiri disela sela suara gending dan merdunya suara Master/Mistress of Ceremony. Karena pola pikir ‘nanti enggak kebagian’ ini lah maka kita lebih rela berebut and nyerobot antrian daripada bersikap anggun dan menanti giliran. Yang begini ini tidak hanya terjadi di antrian pesta, tapi bahkan di antrian pembelian barang berdiskon khusus.

Dalam hal pesta dan meja hidangan, ada biang kerok lain, kenapa akhirnya para tamu lain sampai tidak kebagian makanan yang oleh sang empunya hajat biasanya sudah diperhitungkan dan dilebihkan jumlahnya. Biang kerok itu adalah diri kita sendiri. Mata dan keinginan kita lebih besar dari pada perut kita. Menyendok makanan sebanyak yang kita bisa. Jadilah, piring yang menjulang dengan makanan yang porsinya lebih banyak dari kemampuan perut kita menampung. Tanpa rasa malu dan bersalah kita meninggalkan sisanya menumpuk di piring. Kenapa sih tidak menyendok makanan secukupnya saja, jika perlu, karena belum tau apakah kita akan menyukainya atau tidak, ambillah hidangan sedikit sedikit saja. Jika ingin lagi, bisa nambah toh? ‘Ah nanti keburu habis’. ‘Ah nanti antrinya lama lagi…’ kita berkilah.

Jadi, lebih baikkah meninggalkan makanan tersisa di piring? Ini sama saja kita tak menghargai tuan rumah, dan tamu lainnya. Karena kita secara tidak langsung dan tidak perlu, mengambil hak yang seharusnya menjadi hak orang lain. Bukankah ini sabotase terhadap pesta tuan rumah, dan membuatnya gagal, dengan menjadikan makanan yang seharusnya cukup untuk semua orang, menjadi kurang? Bagaimana jika hal ini terjadi pada pesta kita? Sukakah kita bila makanan yang kita sediakan dibuang seenaknya atas nama nafsu mata dan takut tak kebagian? Maukah kita membuang buang makanan yang milik kita sendiri, dari hasil usaha yang dilakukan dengan susah payah?

Piring Kotor dan Kita
Pernahkah Anda tinggal di sebuah pesta pernikahan di gedung dan catering sewa-an, sampai para undangan selesai makan? Anda akan lihat piring dan gelas kotor, sampah makanan centang perenang di segala tempat, air minum dan makanan tumpah berserakan di lantai. Kursi kursi yang penuh dengan piring kotor. Persis seperti batalion Romawi yang baru saja diserang bangsa Galia di cerita komik Asterix. Sementara petugas kebersihan katering dengan sia sia mencoba mengatasi keadaan.

Kitalah yang menyebabkan situasi itu. Makan disitu ya, kita letakkan piring kotor dan sisa makanan disitu. Tak boleh lihat ruang menganggur di meja hidangan, disanalah kita akan letakkan piring bekas makan kita. Banyak dari kita masih berpikiran primitif bahwa membawa bawa gelas dan piring sisa makan, dan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan merupakan sesuatu yang memalukan. Buat apa ada petugas, jika kita harus melakukannya sendiri? Lupalah kita, jika piring dan gelas bergelimpangan sembarangan membuat suasana pesta tidak menyenangkan dan bisa menyebabkan kecelakaan kecil pada orang lain. Sudikah kita jika pesta yang kacau seperti ini terjadi pada diri kita sendiri?

Tanggung Jawab Sosial
Saya penasaran sekali apakah perilaku seperti ini sebenarnya ini memang naluri semua orang tanpa pandang bulu bangsa? Ataukah ini lebih kepada kecenderungan budaya dan kebiasaan kita, bangsa Indonesia atau lebih sempit lagi, orang Jakarta, karena kegiatan yang saya amati kebanyakan berlangsung di Jakarta? Saya belum bisa menjawab dengan pasti. Pada beberapa pesta bertempat di luar Indonesia, saya amati antrian selalu berlangsung dengan tertib, piring makan sendiri kebanyakan tandas, dan tidak ada suasana seperti kapal pecah. Malahan ada sistim pesta yang mendahulukan anak-anak dan wanita untuk pergi mengambil makanan di meja hidangan, sebelum para hadirin lain. Cara ini menjamin pesta yang nyaman, aman dan bisa dinikmati semua orang. Syaratnya, semua orang percaya pada tanggung jawab sosial.

Menjadi mahluk sosial yang bertanggung jawab sosial tinggi sebetulnya tidak sulit, jika kita terbiasa menggunakan self-check. Tanya diri sendiri, relakah kita jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab terhadap kita? Maukah kita menanggung akibat perbuatan tak bertanggung jawab tersebut? Tidak kan? Jika jawaban kita normal, maka selayaknya kita tunjukkan jati diri sebagai seorang berkelas dengan memperhatikan kepentingan umum selain kepentingan sendiri.

Selamat berpesta, kali ini, antri yang tertib, makan secukupnya, dan nikmati kepuasan batin menjadi seseorang yang sensitive dan toleran terhadap orang lain. Percayalah, kita sendiri yang akan memetik buah hikmahnya.

(artikel sama ada di http://kolomkita.detik.com/new.php/baca/artikel/26/767/index.php/welcome)

***

No comments: