Wednesday, June 16, 2010

Pemburu Cinta (jilid 1)

Menemukan cinta. Aaah, indahnya. Di masa lalu, saya selalu menjadi seseorang yang menunggu, barangkali saja ada cowok yang sudi mengejar ngejar saya. Sayangnya, ini tak sering terjadi. Di masa kini, kayaknya saya bisa berganti peran, dan menjadi sang pemburu. Itulah yang terpikir ketika saya bersekolah di luar negeri. Karena hidup yang membosankan, bumbu sedap cinta dibutuhkan, dan saya Cuma punya budget mahasiswa, akhirnya memutuskan untuk memburu pacar non mahasiswa. Pacaran dengan mahasiswa, modalnya dengkul dan tampang saja. Ini namanya tambah runyam, pikir saya. Pacaran dengan non-mahasiswa lebih banyak manfaatnya. Lebih dewasa. Punya penghasilan sendiri. Tidak pusing dengan jajan bayar sendiri-sendiri. Saya bisa belajar bahasa Inggris lebih cepat. Jalan jalan ke tempat tempat yang belum pernah saya kunjungi sembari indehoy. Makan malam romantis dengan ongkos yang minim. Hadiah hadiah… (mengharap.com – nih! Siapa tahu kan?)

Tentu saja untuk berburu, diperlukan perilaku assertif-agressif, bukan melulu menunggu bulan jatuh dari langit. Sebagai pemburu, saya mesti putar otak memilih hutan yang tepat untuk sasaran perburuan. Sungguh tak gampang. Bisa saja saya pergi ke mall, bar, atau klub olahraga. Tapi realistis saja, biaya tinggi dan kompetisi berat. Harus bayar minum sendiri di bar, tergoda belanja di mall, atau bayar membership sports club sembari berburu. Belum tentu juga banyak sasaran. Pasti banyak perempuan pemburu yang bermodal tampang dan tinggi badan lebih bagus. Ini namanya besar modal dan kecil kemungkinan berhasil.

Setelah membuat business plan yang feasible dan menimbang nimbang untung rugi, saya memutuskan jalan terbaik adalah berburu cinta lewat Internet. Ya, mungkin bagus mencoba. Biaya tentu ada, tapi masih bisa di tolerir deh, apalagi tingkat keberhasilannya mungkin bisa lebih besar. Banyak yang bisa saya kadali dengan tulisan dan foto yang sudah di touch-up, pikir saya. Sudah terbayang coklat, makan malam romantis, nonton, piknik ke gunung dan pantai, bunga bunga segar setiap minggunya, pelukan dan pujian. Semua gratis! Ah indahnya dunia.

Tapi mimpi saya dibangunkan oleh kenyataan bahwa bila ingin memasang profile di suatu situs, pasti saya perlu menciptakan iklan personal yang mantap. Berbekal pengalaman sebelumnya sebagai seorang public relations, akhirnya saya coba menulis personal ad yang bombastis untuk ukuran saya yang cari pacar di Jakarta pun sulitnya setengah mati. Ah Mau malu apanya? Wong pake nama samaran kok. Pasang foto pun bisa bisanya kita saja. Kulihat foto ku sewaktu tingkat satu kuliah cukup representative. Senyum lugu. Wajah muda dan segar. Bohong sedikit, boleh dong. Toh yang terpasang foto sendiri, bukan foto artis…Tuh lihat saja para kokiers, ada JC , dia pakai foto buto ijo yang ngetop, atau Bocah Tua Nakal yang pakai foto kakeknya, dan Janda_Keren yang pakai foto cantik mirip artis latin.

Voila! Bermodal keanggotaan bayar di salah satu situs pencari cinta terkenal, Jadilah iklan saya. Setiap hari menjadi hari yang penuh harapan. Saya tunggu reaksi dari para pencari cinta lain. Sehari. Seminggu. Tak ada yang terjadi. Tak seorangpun yang menyapa di ruang maya. Iseng iseng saya coba juga menyapa beberapa profile. Sampai mata pedas dan nanar memandang layer computer, tak ada yang balas menyapa. Wah!

Saya pikir iklan profile itu cukup bagus, “Attractive slim woman, with sweet smile to melt your heart. Smart, independent and adventurous …” yah saya akui, iklan ini sedikit norak tapi ahem, saya jujur kok...tapi jujur saja, iklan ini gagal menarik peminat.

Setelah dipikir pikir, kegagalan ini pasti disebabkan karena kalimatnya kurang menggigit dan menggoda. Maklum, biasanya menulis profil perusahaan atau press release, saya sungguh tak tahu bagaimana jual diri sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk menelpon penulis professional, yang biasanya memasang iklan di Koran komunitas setempat. Jika saya ingin memancing ikan hiu, tak mungkin berumpan cacing kan? Bermodal sedikit, mungkin akan menghasilkan lebih banyak…Sayangnya, bukannya penulis handal untuk iklan yang saya telpon, tapi penulis khusus obituary, itu tuh penulis yang biasanya menulis kenangan orang yang sudah pergi ke akhirat. Maklum, waktu itu saya tak paham obituary itu apa. Bingung juga sih waktu dia bertanya: “so, siapamu yang meninggal?”

Apa boleh buat, akhirnya saya harus puas dengan iklan buatan sendiri, dan berharap Tuhan berbaik hati mengirim ikon senyum ke layar computer saya. Beberapa minggu setelah pengorbanan menunggui layar computer sampai mata pedas dan pantatku rata, penantian saya berbuah. Tuhan sayang pada hambanya yang gigih. (huh! Kalo begini aja baru ingat Tuhan…)

Mulailah petualangan saya mencari cinta lewat dunia maya. Satu demi satu. Setiap malam sepulang kuliah, bukannya mengerjakan tugas esok hari, saya asyik chatting online. Banyak dari jumpa darat berakhir dengan kekecewaan. Biasanya sih, dari pihak cowoknya. Harapan melebihi kenyataan. Iklan tak sesuai kenyataan hahaha. Ya, dari sayapun ada kekecewaan. Karena di tolak hehehe. Banyak sekali tolakan. Sebegitu banyaknya, sampai sampai saya tergoda untuk menulis sebuah buku 101 Dummy Guide to Accept Rejection Safely. Petunjuk menerima penolakan cinta dengan aman, tanpa khawatir tangan sakit karena meninju sang cowok, atau melempar barang sendiri karena kesal, atau bahkan tergoda untuk bunuh diri karena malu hati dan rendah diri, setelah ditolak mentah mentah…

Tapi Tuhan juga sayang orang penyabar. Saya terima penolakan demi penolakan tanpa kehilangan akal sehat. Dan sesekali saya juga punya kesempatan untuk menolak. Seperti cowok yang datang jumpa darat, sambil membawa anjingnya. Sepanjang duduk di taman, dan mengobrol, tak hentinya dia mengelus elus anjingnya dan bercerita tentang sang anjing. Bukannya saya tak suka anjing, tapi rasanya akan susah buatku bersaing dengan anjing betina itu. Anjing itu cantik dan lucu. Namanya pun indah: Sophia. Bayangkan kalau saya jadi pacar si cowok ganteng ini. Pasti rasa percaya diri akan berkurang setiap kali dia panggil nama saya: IMUNG…. Bandingkan mana lebih mesra dan merdu dengan SOPHIA….

Suatu hari, kebesaran hati saya menerima penolakan mentah mentah bertubi tubi itu akhirnya berbuah juga. Saya temukan juga cowok impian. Sepertinya sih ganteng ya, kalau foto yang di berikannya asli. Dia seorang wartawan dari sebuah surat kabar internasional yang cukup ngetop. Dia juga pemilik bisnis travel safari adventure. Pintar. Kaya. Suka berpetualang. Haduh! Pas banget, pikirku.

Setelah 3 minggu bercakap online hampir setiap hari, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Malam sebelumnya, saya sampai bermimpi menunggang gajah bersama sang cowok dalam sebuah petualangan di Kenya.

Pada hari yang penting itu, saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk memastikan potongan rambut baru, membeli baju baru, dan berlatih berdiri dan tersenyum di depan cermin. Saya memutuskan untuk menunggunya di tempat terbaik: Starbuck. Iya sih, bukan tempat yang romantis, tapi ini tempat paling ideal bertemu dengan orang asing. Aman, banyak orang, dan tidak terlalu kentara kalau kita sebenarnya sedang dalam misi blind date. Lagi pula, disini kita bisa duduk berjam jam, meskipun Cuma pesan segelas kopi. Cocok untuk kantong mahasiswa.

Jadilah saya menunggu di Starbuck. Groginya tak karuan sampai sampai tak ingat lagi seperti apa wajah cowok yang akan saya temui itu. Setiap ada cowok yang masuk ke tempat ngopi ini, pasti tak kelewat dari radar. Inikah dia? Saya bahkan tak menyadari saking gugupnya, saya bertanya tanya pada beberapa orang cowok yang kelihatannya sedang menunggu.

“excuse me, are you Jim?” “Hi what’s your name?”

Sewaktu menunggu dengan gelisah, tiba tiba seorang cowok berjalan mendekati tempat saya duduk. Jangkung. Ganteng. Hati ini serasa mau meledak. Hore! Terima kasih Tuhan! Saya mendapat lotere! Duh, lutut saya gemetaran. Saya Cuma bisa melongo. Tak mampu bersuara. Benak saya menari nari liar, dan berharap. Tuhan, tolong saya jangan ditolak lagi. Janji deh, kalau cowok ini jadi pacar saya, sungguh saya tak keberatan berlari larian sembari telanjang dada di seputaran Robson Street untuk merayakannya…

Sambil menentramkan hati yang dag dig dug, dengan gugup saya coba buka mulut. Baru saja saya ingin memanggil namanya, dia tersenyum pada saya. Wah rasanya hampir semaput! Lupakan deh senyumnya Brad Pitt. Itu Cuma ada di film, bukan senyum kepada saya pula. Yang ini asli! Dia tersenyum kea rah saya. Wow! serasa bermimpi…

Pada detik detik yang paling menentukan itu, dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. ‘God, make him my knight in the shining armour…’ doa saya. Dasar manusia, bisanya minta aja.

Suaranya yang empuk dan simpatik, membangunkanku dari rapal rapal doa. Dengan senyumnya, dia menyapa: “Hi, Estella!”

Owalah! Biyung! Saya berharap saat itu juga namaku bukan Imung. Saya tak keberatan berbohong jika namaku Estella. Ternyata, saya ge-er saja, tatapan matanya terarah ke seseorang yang duduk tepat di belakang saya.

Jadilah saya menanti. Dua jam dengan secangkir kopi. My dream date tidak pernah menongolkan wajahnya. Rugi berkali kali, ongkos potong rambut, ongkos baju baru, ongkos internet, ongkos secangkir kopi, dan ongkos perasaan... Owalah! Biyung!

No comments: