Ini seri kedua dari serangkaian kisah sang pemburu cinta. Kalau mau dirunut, seharusnya kisah ini menjadi kisah awal di masa lalu dari seri perburuan saya mencari cinta.
Seperti layaknya sebuah proyek, sebelum dimulai dengan yang sungguhannya, seringkali dibuat mock-up nya. Begitulah strategi pertama yang terpikir sebelum saya berani menerjunkan diri di hutan belantara maya dalam rangka memburu cinta. Latihan kecil kecilan sebagai pemanasan pasti diperlukan. Tapi apa ya? Malu dong, bilang bilang teman sekelas, bisa turun gengsi. Apalagi rasa percaya diri ini sedang turun turunnya seperti nilai rupiah terhadap mata uang asing. Tapi saya orang yang tak mau menyerah pada keadaan…yang penting bisa mendapatkan cara berburu cinta dengan murah meriah manjur! Seperti dalil ekonomi yang saya pelajari di SMP, dengan usaha yang sekecil kecilnya mendapatkan hasil yang sebesar besarnya. Wah mengingat hukum ekonomi ini membuat saya bersemangat berat!
Saya mulai dengan mengamati. Teman teman sekelas saya, hm! Tak minat! Bukan mereka tak menarik, tapi saya punya rule of thumb sedari dulu, jangan jadi pagar makan tanaman. Tidak pernah pacaran dengan teman sekelas, teman sekantor, teman sepermainan. Bisa bisa bermasalah, dan ketula! Tapi paling tidak, saya bisa memanfaatkan ibu kost, seorang nenek 70-tahunan yang tomboy, energetic, dan mendunia, dia tahu banyak hal. Siapa tahu dia punya informasi. Tentu saja, tidak dengan gamblang bilang saya sedang berminat mencinta dan dicinta, dengan catatan jangan dengan mahasiswa.
Suatu kali dia menyebutkan sebuah grup dansa gratisan, Irish dancing club, yang biasanya latihan di sebuah community club, 15 menit berkendara kea rah gunung dari tempat kos saya. Seketika saya terbayang adegan dansa romantis dan keren di film Shakespeare in Love. Menurut Roy –nama bu kost saya itu- dalam satu tarikan dansa, kita akan berganti ganti pasangan. Wah, boleh juga nih. Inilah hutan potensial untuk tempat berburu. Siapa tahu dapat macan, hrroaarr!!! Cihuy! pikiran jorokku sudah berdansa dengan cowok cowok Irish berbadan kekar, tapi romantis. Dan siapa tahu salah satu dari mereka berminat mencintai cewek manis mungil yang setia, lucu dan penuh nafsu (terjemahan ngasal dari passionate)
Dengan usaha yang halus, saya berhasil membujuk Roy, sang ibu kos, untuk mengantar ke community centre tempat Irish dancing class beraksi. Dengan penuh semangat saya memasuki hall tempat dansa. Banyak sudah yang datang, mereka ramah-ramah. Sampai dansa dimulai, saya cuma menemui ibu-ibu setengah baya ke atas, dengan beberapa orang bapak bapak gaek, yang mungkin sudah tak nafsu pergi ke bar dengan konco-konconya. Yaaa, kecewa! Pelajaran pertama, cari informasi dari sumber yang tepat! Informasi Roy mungkin lebih tepat untuk nenek-nenek yang kesepian dan mencari kegiatan. Bodoh juga sih saya nya…
AKhirnya saya mencoba peruntungan di tempat lain. Kali ini dengan menelusuri iklan-iklan pencari cinta di koran komunitas lokal gratisan, Georgia Straight. Cara bekerjanya mirip mirip iklan jodoh di Kompas, dimana sang pencari menjual profilenya, dan memaparkan pasangan seperti apa yang dicari. Wah kebanyakan pria mencari pria, atau wanita mencari wanita. Tak terlalu banyak iklan pria mencari wanita. Apalagi mencari yang spesifik, yang hitam manis, mungil, lucu dan setia seperti saya. Kebanyakan kualitas saya, tidak gampang dilihat dengan kasat mata (hehe ge-er dikit). Jadi agak susah juga berharap macam macam. Kebanyakan iklan itu mencari perempuan tinggi, pirang, sensual, dan banyak ketentuan fisik lainnya. Huh! Perempuan dengan deskripsi seperti itu, mana mungkin juga mencari cinta ala Georgia Straight? Berdiri saja di depan stasiun kereta, sudah pasti akan banyak lelaki yang tergila-gila melihatnya.
Singkat cerita, akhirnya ada juga sasaran yang nampaknya cocok. Dia adalah seorang lelaki kaukasia sederhana –down to earth, katanya- suka bersepeda, suka buku, dan cukup melek budaya non-western. Dia sebutkan pula statistic tubuhnya, dengan tinggi sekian inchi, dan berat sekian pound. Saya tak ngerti persis ukuran seperti ini. Semuanya ada di satu kolom kecil dua paragraph saja, disertai nomer hotline. Cara bekerja hotline ini susah susah gampang. Para pencari cinta yang memasang iklan, membayar paket space di surat kabar, sekaligus mendapatkan sebuah kotak suara, dimana dia akan meninggalkan suaranya, untuk para peminat mengakses melalui nomer keanggotaannya. Sebagai peminat, saya akan bisa mengakses suaranya, dan meninggalkan pesan suara juga. Pesan suara dari peminat ini Cuma bisa diakses oleh sang pemasang cinta saja.
Tapi di tahap seperti ini, saya tak mau terlalu banyak cingcong dan rewel. Kita lihat saja lagi. Meskipun saya tak pernah berjudi di Las Vegas, ataupun di Macao, tapi dalam hidup, saya suka berjudi dengan nasib saya. Inilah salah satunya. Setelah timbang menimbang, akhirnya, saya hubungi nomer hotline pencari cinta itu. Setelah tekan sana tekan sini, saya mendengar suara…
Suaranya cukup merdu bak buluh perindu. Seru juga membayangkan seperti apa orangnya cuma berdasarkan suaranya. Karena proyek berburu ini merupakan uji coba tentu saya mesti berhati hati. Kalau untung, ini bisa jadi sungguhan, tapi mana tau. Salah satu bentuk kehati-hatian saya adalah dengan tidak memberikan nomer telpon, atau alamat tempat tinggal saya. Saya set sebuah email address dengan nama palsu, just in case diperlukan. Jadi, untuk berkontak-kontak, akan terserah pada saya untuk memulai, atau mengakhiri. Lho, namanya juga berburu, iya gak? Jadi kontak telpon-telponan kami biasanya dimulai oleh saya yang menelpon ke nomer cowok itu. Seperti layaknya masa penjajakan, urusan ngobrol di telpon selalu ngalor ngidul sembari mencari benang merahnya, seperti apa ya, cowok ini, dari ceritanya dan response nya terhadap saya.
Tidak sampai 2 minggu, dia mengajak kopi darat. Saya gembira, sekaligus kecut. Bagaimana kalau dia ternyata kecewa, tampang saya tak seindah suara saya? Tapi peduli amat, namanya juga uji coba. Dapat, untung, tak dapat, buntung (buat sementara). Daripada penasaran. Kami memutuskan untuk betemu di depan bioskop di daerah Granville jam 7-an malam, kebetulan hari itu saya berniat menonton filem indie dokumenter tree hugger (Butterfly). Filem mulai jam 8 malam, masih ada waktu ketemu cowok itu, kalau mujur, dia bisa saya ajak nonton juga, daripada nonton sendirian.
Jam 7 kurang, saya sudah mejeng di pinggir jalan di Granville, kali ini saya tak repot repot bersiap siap, kalau dia terima saya syukur, kalau tidak ya keterlaluan... Waktu itu musim dingin, jadi saya cuma berjumper ungu, tidak berpakaian provokatif. Saya bilang, “kamu lihat saja kalo ada liliput berjumper ungu, itulah saya…”, sementara dia sendiri, katanya akan datang dengan sepeda, dan berjaket kuning. Saya berharap, pada saat saya datang ke tempat bertemu, dia sudah berdiri disana dengan gagahnya bersama sepeda kesayangannya. Sudah terbayang, cowok ini pasti the hero of environment, bersepeda kemana-mana, berotot dan sehat, karena menggenjot terus setiap hari. Di daerah ini, kontur nya beragam, sudah pasti harus kuat dan sehat untuk bisa genjot sepeda naik turun jalanan.
Sayangnya, sayalah yang harus menunggu. Sialan! Saya sudah mengikuti jam western, eh, dia yang mengikuti jam karet! Tunggu punya tunggu, kepala saya sudah puyeng tengok kanan kiri, mata jelalatan mencari cowok bersepeda berbaju kuning. Banyak sih, cowok cowok ganteng bersepeda, tapi jaket kuning? Haduh, cowok macam apa yang memilih berjaket kuning on a date? Emangnya mahasiswa UI yang lagi demo? Atau petugas pembetul jalanan yang harus mencolok supaya tidak ditabrak mobil? Ah saya jadi sangsi. Tapi jangan panggil saya Imung, kalau saya tak punya hati baja. Urusan seperti ini bisa membuat 3-AN saya bertahan. Saya punya rasa penasarAN, harapAN, dan kesabarAn seluas angkasa. Saya cuma bisa berdoa, semoga pengorbanan saya berdiri, dan menengok kiri kanan seperti wayang golek, berakhir dengan mulia.
Haduh, sudah hampir habis kesabaran saya, badan saya tambah mengkerut karena kedinginan, dan leher saya sudah pegal tengok kanan kiri. “Bego lo Mung! Cowok apa-an yang membiarkan cewek menunggu selama ini?” hati saya mengumpat. Mahluk bertanduk dan mahluk berhalo putih di kepala saya masih berperang. “Udah pergi aja!’”. “Jangan, sapa tau cowok itu guanteng dan mau sama elo…” Hampir 30 menit menunggu, akhirnya, seorang cowok dengan sepeda kumbang mendekati saya.
Si mahluk bertanduk di kepala saya terlihat menari nari, “tuh kan, gue bilang juga apa, ngapain nunggu buat cowok model begituan, rasain deh lo, rugi!”… sementara mahluk berhalo putih masih saja membujuk, “siapa tau orangnya baik. Tampang bukan segalanya. Elo juga gak cakep cakep amat, gak usah rewel deh…” Kesal saya bertambah, karena pertarungan kedua mahluk di kepala saya, rasa capek, dan kecewa karena harapan tak sesuai kenyataan. Tapi jangan panggil saya Imung, kalau saya tidak bisa memberi senyum semanis madu kepada orang, meskipun hati ini geram. Inilah ajaran Jawa dari ibu saya.
Meskipun dia minta maaf, rasa kecewa saya sudah tak terobati. Terutama, jujur saja karena harapan tak sesuai kenyataan. Untungnya saya bisa berkilah supaya bisa cepat hengkang dari hadapannya, ada filem yang saya mesti tonton, dan udah beli tiket. Jadi saya coba permisi. Sialnya lagi, dia bilang, “oh kayaknya filemnya menarik, saya juga mau nonton ah!” Pelajaran buat cewek-cewek: jangan suka terlalu jujur sama orang belum dikenal.
“Mati deh gue!”, pikir saya. Bagaimana mungkin saya bisa melarangnya pergi nonton filem yang akan saya tonton? Emangnya saya pemilik bioskop ini. Hak asasi dia dong. Manyun-nya lagi, bioskop disini masih lebih primitive daripada yang kita punya di Jakarta. Kursinya lebih sempit daripada di Jakarta. Dan tidak pakai nomor kursi. Siapapun boleh duduk dimana saja. Siapa cepat dia boleh milih. Wah, kacau nih. Dia pasti duduk disebelah saya. Sudah begitupun, dalam hati saya masih bersyukur. Untung filemnya dokumenter, tentang seorang cewek yang hidup lebih dari setahun di atas pohon red tree demi mempertahankan supaya pohonnya tidak ditebang. Coba kalo filemnya romantis atau beradegan hot, hiiyy mana tahaaann!
Epilog
Saya memang tak tahu diri, sudah jelek, kok belagu, masih kepingin yang cakep juga. Walaupun belum tentu juga kalau cowok itu cakep, saya lantas mau aja. Namanya juga cita-cita, boleh dong setinggi bintang di angkasa. Perkara enggak tercapai, ya judulnya aja cita-cita…
Akhir cerita, ditengah filem, saya bilang, saya pingin ke toilet dulu…padahal saya menyelinap keluar dan pulang dengan tangan hampa! ***
No comments:
Post a Comment