“Jakarta is number two..” begitu Colin, teman se-klub saya di Toastmasters memulai pidatonya di klub kami malam itu. Sebagai orang Jakarta dan sebagai seorang yang suka berimajinasi ngawur, saya langsung ke-ge-er-an. Saya pikir, Colin akan bilang bahwa Jakarta adalah cintanya yang kedua setelah negaranya. Banyak teman saya yang non-Indonesia begitu sih, jatuh cinta berat dengan Jakarta. Ternyata Jakarta nomer 2 yang dimaksudnya lebih heboh. Masuk ranking secara international! Menurut sebuah lembaga riset sumber daya di New York, Jakarta dinobatkan dalam peringkat kedua di dunia sebagai kota …yang terburuk buat para ekpat untuk tinggal dan hidup. Hidup Jakarta!!
“Ya, hidup Jakarta!...” teman saya masih berujar: “Saya enggak ngerti dasar apa yang dipakai oleh lembaga ini sampai sampai Jakarta yang cool ini sejajar dengan Lagos (nomer 1), dan Riyadh, Kazakstan dan Mumbay (dari urutan ke 3 sampai ke 5). Buat saya yang pernah hidup dan tinggal di banyak kota dunia, menempatkan Jakarta sebagai kota terburuk untuk para expat untuk tinggal, menggelikan sekali.”
Colin yang pernah menetap di beberapa kota besar seperti New York, London, Sydney, Hongkong, Seoul, dan Denver, tidak sedang bicara manis. Saya yakin dia tulus, dan mengerti betul, jika statement Jakarta nomer 2 terburuk itu ridikyules. Walaupun didaulat sebagai nomer 2, yang terjelek, pasti tak ada yang bisa membantah kenyataan bahwa, Jakarta superior dalam hal-hal berikut ini:
Transportasi umum
Coba sebutkan dimana ada kota metropolitan di dunia yang punya sistim transportasi umum yang secanggih Jakarta, kebanyakan dikelola secara swadaya pula. Mau apa juga ada. Dari roda dua sampai roda banyak. Dari yang pakai otot untuk menggerakkannya sampai yang pake otak saja. Dari yang ukuran kurus seperti sepeda kumbang nya pak Omar Bakri di daerah kota sana, sampai yang bomber gedenya seperti busway. Dari yang halus bunyinya seperti beca (maklum Cuma bunyi napas berat ah..ahhh.. abang becaknya) sampai yang berisik minta ampun seperti bajaj ada! Ojek sepeda, motor, beca, busway, bis bis yang sanggup acrobat miring sana miring sini, omprengan, taxi.. tinggal pilih sesuai selera dan kocek.
Mau naik yang mewah, adem dan pelayanan prima ada silverbird dan taxi lainnya. Mau coba rasanya olahraga pilates dan bergesekan tubuh sembari merasakan bau bauan yang natural dari badan, bisa bergelantungan di bis kota yang penuh sesak. Mau lihat pertunjukan sulap gratis? ada di bis dimana copet beraksi.
Mau menikmati romantika Jakarta dengan para actor bermain live? Tinggal naik kereta api kelas ekonomi yang Cuma seribu lima ratus perak karcisnya. Di kereta itu kita bisa lihat segala rupa orang, bisa sembari shopping, belanja jepitan rambut, lem tikus, celana dalam, kalkulator, buah-buahan, buku, kondomnya handphone, gunting kuku, pensil. Seringkali dihibur pula dengan para musisi jalanan dari yang bersuara cempreng serak sember sampai grup musik yang serius menggotong bass dan sound systemnya atau bisa juga menikmati pertunjukan fashion show dari para waria yang bergerombol menaiki kereta.
Dua puluh empat jam dengan transportasi public yang gampang dicari, kita bisa pergi dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Bayangkan bahkan tinggal di kota kota besar seperti New York pun tidak ada kemudahan dan kemurahan transport yang setara dengan Jakarta…
Cuaca yang konsisten dan menyenangkan
Ok. Saya tidak sedang bicara tentang udara ya, ini beda. Udara sih, memang tercemar, seperti banyak kota metropolitan di Asia. Tapi perkara cuaca, dibandingkan banyak kota besar lainnya, Jakarta sangat friendly. Bepergian setiap saat di segala cuaca sangat memungkinkan. Bisa ketebak, kalau tak hujan ya panas. Hujannya pun keseringan hujan romantis, jarang yang disertai angin kencang, tidak super dingin dan terus menerus seperti di London atau Vancouver.
Banyak orang dari Asia yang baru baru tinggal di negara empat musim mengalami syndrome musim dingin, yang bawaannya gloomy melulu karena jarang lihat matahari. Apalagi kalau tinggal di tempat dimana musim dinginnya langganan berat salju. Masak mesti hibernate selama musim dingin, enggak kemana mana? Teman saya Colin ini cerita, sewaktu di Denver, keseringannya dia merasa bosan dirumah, tapi mau bepergian juga susah, hiburan luar kurang. Tapi untuk doing nothing itu enggak enak juga. Jadilah dia bisa bolak balik ke gym sehari tiga kali, kayak minum obat cacing.
Dengan cuaca seperti Jakarta, kita enggak perlu pusing sama urusan fashion seperti di negara 4 musim, tiap 3 bulan mesti ganti model. Bagi para perempuan yang mau berpakaian seksi di tempat umum, enggak harus setahun sekali tunggu musim panas. Pokoke Jakarta pancen oye!
Hub yang Strategis
Mau lihat pantai pelabuhan yang masih bergaya tempo dulu? Kurang dari dua jam sudah dapat Sunda Kelapa. Mau pantai pantai lain yang bisa di jangkau dalam waktu dua tiga jam berikut paket resortnya? Ada marina Ancol, kepulauan seribu, Anyer, dan banyak lagi.
Mau lihat gunung? Ah gampang, pergi aja ke gedung pencakar langit dengan kaca menghadap Bogor. Walaupun dengan susah payah, pasti kelihatan juga. Tapi kalau mau pergi ke gunungnya pun, bisa ke arah puncak, ke arah Bandung, kea rah Banten. Pilih pilih aja sendiri deh. Pendeknya, enaknya hidup di Jakarta itu ya bisa ke luar kota dengan gampang dan dekat jaraknya.
Toleransi Agama dan Budaya
Mungkin banyak pembaca yang gak setuju sama saya , tapi yang saya ungkapkan ini pandangan dari beberapa teman non-Indonesia termasuk Colin ini. Kalo yang ini sih memang khasnya Indonesia. Mau beragama apa aja, silakan, asal jangan mengganggu orang. Hari libur keagamaan menjadi libur nasional yang bisa dinikmati oleh penggembira beragama apa saja. Kebanyakan penduduk Indonesia, dan Jakarta tentunya punya tingkat toleransi yang jauh lebih tinggi daripada bahkan dibandingkan penduduk Negara adidaya yang menurut pendapat mereka sendiri lebih sulit mentoleransi agama, ras dan budaya yang berbeda. Contoh kecil saja, komunitas waria, di Jakarta, diterima apa adanya oleh masyarakat, sementara nun jauh disana di kota kota yang sudah jauh lebih maju, masih saja terdengar berita mereka di-bully karena menjadi diri mereka sendiri.
Swalayan Dunia Hiburan
Mau hiburan receh seperti pengamen dipinggir jalan sampai hiburan kelas tinggi yang butuh kocek ratusan ribu atau jutaan rupiah, sambil merem (melek) bisa dinikmati. Mau belanja? Dari tali beha sampai sekrup pesawat ada. Dari pasar becek dan bau sampai mall mewah yang suka bikin kita minder kalau lihat harga harganya, ada. Tempat tempat itu buka sampai jauh malam. Bahkan dunia dugem ada yang buka sampai subuh!
Mau nonton? Bioskop dari yang paket tambahan gratis binatang bangsat di kursinya, sampai yang bisa sembari tiduran dilengkapi pelayanan butler, Cuma Jakarta yang punya. Teman saya yang berasal dari Jerman sampai ternganga sewaktu saya ajak ke bioskop mewah Jakarta. Saya juga ternganga sewaktu nonton di salah satu bioskop di downtown Vancouver. Lho kok, kursinya kecil banget sih, dibanding kursi normal bioskop Jakarta.
Enggak punya duit tapi pingin nonton? Gampang! Pergi aja ke Mall Ambassador, atau Ratu Plaza atau Glodok. Dengan minimal uang 7-ribu sudah bisa dapat satu filem bajakan, dari filem horror sampai porno, komplit! Bule-bule saja sering keluyuran cari filem disana!
Hiburan lain? Wah pasti kolom ini tak muat membahas banyaknya jenis hiburan di Jakarta. Bagi saya, tak ada yang bisa mengalahkan dinamika Jakarta sebagai kota metropolitan. Jakarta kota segala ada. Hidup Jakarta! *** (Artikel juga ada di: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/367/jakarta_sang_nomor_dua_
“Ya, hidup Jakarta!...” teman saya masih berujar: “Saya enggak ngerti dasar apa yang dipakai oleh lembaga ini sampai sampai Jakarta yang cool ini sejajar dengan Lagos (nomer 1), dan Riyadh, Kazakstan dan Mumbay (dari urutan ke 3 sampai ke 5). Buat saya yang pernah hidup dan tinggal di banyak kota dunia, menempatkan Jakarta sebagai kota terburuk untuk para expat untuk tinggal, menggelikan sekali.”
Colin yang pernah menetap di beberapa kota besar seperti New York, London, Sydney, Hongkong, Seoul, dan Denver, tidak sedang bicara manis. Saya yakin dia tulus, dan mengerti betul, jika statement Jakarta nomer 2 terburuk itu ridikyules. Walaupun didaulat sebagai nomer 2, yang terjelek, pasti tak ada yang bisa membantah kenyataan bahwa, Jakarta superior dalam hal-hal berikut ini:
Transportasi umum
Coba sebutkan dimana ada kota metropolitan di dunia yang punya sistim transportasi umum yang secanggih Jakarta, kebanyakan dikelola secara swadaya pula. Mau apa juga ada. Dari roda dua sampai roda banyak. Dari yang pakai otot untuk menggerakkannya sampai yang pake otak saja. Dari yang ukuran kurus seperti sepeda kumbang nya pak Omar Bakri di daerah kota sana, sampai yang bomber gedenya seperti busway. Dari yang halus bunyinya seperti beca (maklum Cuma bunyi napas berat ah..ahhh.. abang becaknya) sampai yang berisik minta ampun seperti bajaj ada! Ojek sepeda, motor, beca, busway, bis bis yang sanggup acrobat miring sana miring sini, omprengan, taxi.. tinggal pilih sesuai selera dan kocek.
Mau naik yang mewah, adem dan pelayanan prima ada silverbird dan taxi lainnya. Mau coba rasanya olahraga pilates dan bergesekan tubuh sembari merasakan bau bauan yang natural dari badan, bisa bergelantungan di bis kota yang penuh sesak. Mau lihat pertunjukan sulap gratis? ada di bis dimana copet beraksi.
Mau menikmati romantika Jakarta dengan para actor bermain live? Tinggal naik kereta api kelas ekonomi yang Cuma seribu lima ratus perak karcisnya. Di kereta itu kita bisa lihat segala rupa orang, bisa sembari shopping, belanja jepitan rambut, lem tikus, celana dalam, kalkulator, buah-buahan, buku, kondomnya handphone, gunting kuku, pensil. Seringkali dihibur pula dengan para musisi jalanan dari yang bersuara cempreng serak sember sampai grup musik yang serius menggotong bass dan sound systemnya atau bisa juga menikmati pertunjukan fashion show dari para waria yang bergerombol menaiki kereta.
Dua puluh empat jam dengan transportasi public yang gampang dicari, kita bisa pergi dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Bayangkan bahkan tinggal di kota kota besar seperti New York pun tidak ada kemudahan dan kemurahan transport yang setara dengan Jakarta…
Cuaca yang konsisten dan menyenangkan
Ok. Saya tidak sedang bicara tentang udara ya, ini beda. Udara sih, memang tercemar, seperti banyak kota metropolitan di Asia. Tapi perkara cuaca, dibandingkan banyak kota besar lainnya, Jakarta sangat friendly. Bepergian setiap saat di segala cuaca sangat memungkinkan. Bisa ketebak, kalau tak hujan ya panas. Hujannya pun keseringan hujan romantis, jarang yang disertai angin kencang, tidak super dingin dan terus menerus seperti di London atau Vancouver.
Banyak orang dari Asia yang baru baru tinggal di negara empat musim mengalami syndrome musim dingin, yang bawaannya gloomy melulu karena jarang lihat matahari. Apalagi kalau tinggal di tempat dimana musim dinginnya langganan berat salju. Masak mesti hibernate selama musim dingin, enggak kemana mana? Teman saya Colin ini cerita, sewaktu di Denver, keseringannya dia merasa bosan dirumah, tapi mau bepergian juga susah, hiburan luar kurang. Tapi untuk doing nothing itu enggak enak juga. Jadilah dia bisa bolak balik ke gym sehari tiga kali, kayak minum obat cacing.
Dengan cuaca seperti Jakarta, kita enggak perlu pusing sama urusan fashion seperti di negara 4 musim, tiap 3 bulan mesti ganti model. Bagi para perempuan yang mau berpakaian seksi di tempat umum, enggak harus setahun sekali tunggu musim panas. Pokoke Jakarta pancen oye!
Hub yang Strategis
Mau lihat pantai pelabuhan yang masih bergaya tempo dulu? Kurang dari dua jam sudah dapat Sunda Kelapa. Mau pantai pantai lain yang bisa di jangkau dalam waktu dua tiga jam berikut paket resortnya? Ada marina Ancol, kepulauan seribu, Anyer, dan banyak lagi.
Mau lihat gunung? Ah gampang, pergi aja ke gedung pencakar langit dengan kaca menghadap Bogor. Walaupun dengan susah payah, pasti kelihatan juga. Tapi kalau mau pergi ke gunungnya pun, bisa ke arah puncak, ke arah Bandung, kea rah Banten. Pilih pilih aja sendiri deh. Pendeknya, enaknya hidup di Jakarta itu ya bisa ke luar kota dengan gampang dan dekat jaraknya.
Toleransi Agama dan Budaya
Mungkin banyak pembaca yang gak setuju sama saya , tapi yang saya ungkapkan ini pandangan dari beberapa teman non-Indonesia termasuk Colin ini. Kalo yang ini sih memang khasnya Indonesia. Mau beragama apa aja, silakan, asal jangan mengganggu orang. Hari libur keagamaan menjadi libur nasional yang bisa dinikmati oleh penggembira beragama apa saja. Kebanyakan penduduk Indonesia, dan Jakarta tentunya punya tingkat toleransi yang jauh lebih tinggi daripada bahkan dibandingkan penduduk Negara adidaya yang menurut pendapat mereka sendiri lebih sulit mentoleransi agama, ras dan budaya yang berbeda. Contoh kecil saja, komunitas waria, di Jakarta, diterima apa adanya oleh masyarakat, sementara nun jauh disana di kota kota yang sudah jauh lebih maju, masih saja terdengar berita mereka di-bully karena menjadi diri mereka sendiri.
Swalayan Dunia Hiburan
Mau hiburan receh seperti pengamen dipinggir jalan sampai hiburan kelas tinggi yang butuh kocek ratusan ribu atau jutaan rupiah, sambil merem (melek) bisa dinikmati. Mau belanja? Dari tali beha sampai sekrup pesawat ada. Dari pasar becek dan bau sampai mall mewah yang suka bikin kita minder kalau lihat harga harganya, ada. Tempat tempat itu buka sampai jauh malam. Bahkan dunia dugem ada yang buka sampai subuh!
Mau nonton? Bioskop dari yang paket tambahan gratis binatang bangsat di kursinya, sampai yang bisa sembari tiduran dilengkapi pelayanan butler, Cuma Jakarta yang punya. Teman saya yang berasal dari Jerman sampai ternganga sewaktu saya ajak ke bioskop mewah Jakarta. Saya juga ternganga sewaktu nonton di salah satu bioskop di downtown Vancouver. Lho kok, kursinya kecil banget sih, dibanding kursi normal bioskop Jakarta.
Enggak punya duit tapi pingin nonton? Gampang! Pergi aja ke Mall Ambassador, atau Ratu Plaza atau Glodok. Dengan minimal uang 7-ribu sudah bisa dapat satu filem bajakan, dari filem horror sampai porno, komplit! Bule-bule saja sering keluyuran cari filem disana!
Hiburan lain? Wah pasti kolom ini tak muat membahas banyaknya jenis hiburan di Jakarta. Bagi saya, tak ada yang bisa mengalahkan dinamika Jakarta sebagai kota metropolitan. Jakarta kota segala ada. Hidup Jakarta! *** (Artikel juga ada di: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/367/jakarta_sang_nomor_dua_
No comments:
Post a Comment