http://community.kompas.com/read/artikel/2699
Saya meloncat terbangun dengan dada berdegup kencang. Bingung. Ada dimana saya? Tak sepotongpun pakaian melekat di tubuh. Saya merasa sendiri, tapi suara yang cukup keras itu membangunkan saya. Pikiran saya yang masih bingung karena terbangun kaget, mereka reka, kenapa ada suara cowok? Berbahasa India pula. Perasaan sih saya belum pernah ke India? Perasaan waktu berangkat tidur tadi saya sendirian? Tak lama sang lelaki berbahasa Mandarin terdengar. Lho kok?
Kebingungan saya baru berakhir setelah terdengar pengumuman berbahasa Inggris. Barulah saya sadari suara itu berasal dari public announcement meminta para tamu hotel di Singapore ini untuk bersiap siap evakuasi karena kemungkinan ada api. Saya lari ke pintu di lantai 16 itu, tanpa apa-apa saking paniknya, beruntunglah belum sempat menjebretkan pintu dan terkunci diluar. Bayangkan kalau itu terjadi hiiyyy malunya! Saya kembali masuk kamar, sempat lari serabutan mencari baju dan dompet. Sial!
Beginilah nasibnya kalau hobi tidur telanjang, dan kurang perhatian pada tips tips keselamatan. Padahal saya adalah praktisi dan peminat masalah masalah keselamatan. Jika api dan evakuasi benar benar terjadi, mungkin waktu kritis yang terpakai untuk mencari baju, dan memakainya tidak akan menyelamatkan saya. Semenjak itu, saya berjanji, jika tidur dihotel sendirian, jangan sampai mencopot semua pakaian. Jika terjadi apa apa yang membutuhkan evakuasi, akan lebih sulit melakukannya.
Apakah Yang Paling Berharga?
Apakah yang pertama terlintas di kepala kita jika kita dihadapkan pada situasi sulit atau bencana yang memerlukan evakuasi diri? Jarang rasanya kita langsung berpikir ‘aku harus selamatkan diri’. Lebih sering yang pertama terpikir, ‘ya ampun, gimana nasib keluargaku, pacarku, binatang piaraanku, kalau aku mati…’ ‘Waduh, dompetku ketinggalan…’ ‘wah sebelum menyelamatkan diri, aku harus menyelamatkan harta benda’. Biasanya kalau pikiran pikiran seperti ini ditindaklanjuti, kita semakin lupa pada keselamatan diri.
Ini mengingatkan saya pada kebakaran sebuah gedung bank terkemuka di bilangan Thamrin, Jakarta bertahun lalu. Diceritakan ada seorang karyawan yang sebenarnya sudah selamat berada di pelataran gedung dalam proses evakuasi. Sayangnya, dia tiba tiba teringat dompet dan tas nya yang tertinggal di ruang kerjanya, dan dengan gagah berani kembali ke atas, untuk mengambil dompet tersebut. Damailah jiwanya, sang karyawan bukannya kembali ke tempat berkumpul di halaman gedung, tetapi kembali ke Yang Maha Kuasa.
Tips Mengurangi Rasa Panik
Selain lupa diri, dan lebih memikirkan orang lain atau harta benda yang mesti diselamatkan dalam keadaan emergency, ada kondisi yang lebih parah lagi. Ini terjadi bila kita menjadi panik dan terpaku, tak mampu berpikir apalagi bertindak cepat dan logis. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja bagian otak kita yang berhubungan dengan emosi – amygdale – mengendalikan bermacam macam emosi, dimana panik adalah salah satu manifestasinya (jangan ada yang protes ya, saya bukan ahli otak nih – pembaca yang lebih ahli silakan menambahkan).
Menurut penelitian dari berbagai sumber, pada saat bagian dari amygdale kita terpicu dan aktif, hanya memerlukan 6 detik saja untuk bebas berkeliaran, dan mengejawantah dalam tindakan. Enam detik kritis tadi bisa saja merugikan kita, bila kita tak mampu mengendalikannya. Dalam hal menghadapi bencana, kuncinya adalah mengendalikan picuan amygdale, meredam rasa panik yang timbul. Panik terjadi karena ketidak-siapan mental. Bukan hal yang mudah untuk menguranginya, kecuali kalau kita terbiasa dengan latihan latihan. Apakah bentuk latihan itu?
1. Afirmasi terhadap diri sendiri.
Sering seringlah mengatakan pada diri sendiri dengan sepenuh hati, ‘nyawa dan akal sehat adalah harta paling berharga, tak ada apapun yang menggantikannya.’ Tentu keluarga dan cinta, sangat berharga, tapi kalau tak ada nyawa, bagaimana kita bisa menikmatinya. Kalau tak ada nyawa dan akal sehat, bagaimana kita bisa mempertahankan keluarga dan cinta? Hal utama adalah yang pertama, yang selanjutnya akan lebih mudah mengikuti. Bila afirmasi terhadap diri sendiri ini sudah mendarah daging, akan sangat mudah melepaskan apa yang menjadi tak penting dalam hidup kita, bila diperlukan.
2. Jadilah sutradara, dimana kita dan keluarga kita merupakan pemain utama!
Kita bisa mengajak otak untuk memikirkan scenario bencana atau insiden yang paling mungkin terjadi dalam keluarga, bekerja, sewaktu bepergian, ataupun di situasi situasi tertentu. Tulislah scenario itu bila perlu, dan rincilah bagaimana cara terbaik seharusnya menghadapi situasi tersebut. Ini bisa menjadi bagian yang paling sulit, karena biasanya keluarga kita dan kawan kawan kita sendiri yang resistan. Bisa juga kita dianggap berlebihan, dan paranoid. Sewaktu saya melakukan mental drill terhadap keluarga ibu dan bapak saya, tentang bagaimana keluar dari rumah bila ada kebakaran. Ibu saya bilang: “Ah, umur itu di tangan Tuhan, kalo aku harus mati, ya mati aja. Kalo harus lari, ya lari aja lewat pintu. Tua tua gini-gini aku juga masih sekuat kebo…” lha iya, tapi kalo daerah pintunya udah penuh api, gimana hayo!
3. Berlatih memainkan imajinasi mental untuk menghadapi bencana.
Kita bisa menggunakan scenario yang sudah kita susun dan praktekkan bersama di poin ke 2. Ada pepatah alah bisa karena biasa. Membiasakan diri berlatih memainkan imajinasi mental akan mengurangi tingkat kepanikan karena secara mental kita sudah menyiapkan diri. Misalnya dalam kasus saya di halaman atas tadi, saya seharusnya sudah bisa membayangkan, bila harus evakuasi, kemana saya akan pergi? Dimanakah arah emergency exit? Kanan? Kiri? Berapa langkahkah pintu emergency kamar hotel saya? Apakah saya akan berjalan atau merangkak, bila banyak kepulan asap?
4. Seringlah bertanya sendiri: Bagaimana Kalau?
Inilah permainan antisipasi dan improvisasi yang bisa jadi sangat mengasyikkan, bila kita sudah terbiasa. Manfaat lain bisa di dapat, karena latihan ini seperti mengasah kepekaan dan kesiapan kita menghadapi sesuatu yang tidak terduga dalam hidup kita. Contoh kecil saat kita akan memasang lampu, dan saking malesnya kita menyeret saja kursi seadanya, bukannya mengambil tangga yang letaknya di bagian belakang rumah. Toh kursinya cukup tinggi. Bila ini yang terjadi, berhentilah sejenak, dan tanya diri: ‘bagaimana kalau saya terpeleset, soalnya dengan kursi ini saya akan harus berjinjit.’ Jawablah juga dengan jujur, misalnya: ‘mungkin tak apa apa, kaki saya kuat kok. Tapi mungkin saja terpeleset, dan kepala saya terbentur, atau kaki saya patah. Ongkos dokter lebih mahal dari pada waktu dan usaha saya mengambil tangga yang lebih aman…’ Silakan menciptakan contoh contoh lainnya…
5. Jadilah pemerhati yang teliti:
Kalau kita sudah terbiasa dengan poin 1-4, pasti akan sangat mudah menjadi pemerhati yang teliti terhadap situasi di sekitar kita, dan mainkan mental imaging jika kita ada di tengah tengah situasi itu. Contoh yang paling gampang: berapa banyak dari kita yang mengecek lokasi exit emergency pada saat kita berkunjung ke gedung tinggi, kantor atau mall? Hayo, tunjuk tangan! Pasti banyak. Apalagi perempuan seperti saya yang hobby window shopping, alih alih mengecek lokasi exit, -emangnya kita pegawai maintenance disana apa – yang pertama kita cek adalah tulisan SALE gede-gede, dan display manekin dan barang barang yang cantik… wuiss, sudahlah ileran duluan, boro boro ingat exit…
6. Pelajarilah hal hal teknis mengenai potensi bahaya, dan bagaimana menanggulanginya.
Nah, jika mental kita sudah siap, dan pikiran kita sudah terbuka akan pentingnya berprinsip keselamatan adalah yang hal utama, inilah saatnya membelajari hal hal yang keras. Hardwarenya. Soalnya, percuma juga tahu hal hal teknis, bila pikiran kita dan mental kita tidak siap. Serangan panik bisa datang kapan saja…Siapkan apa apa yang perlu diketahui di rumah, misalnya cara aman untuk membongkar barang listrik, cara menggunakan fire extinguisher, bahan bahan makanan atau kimiawi yang membuat kita alergi, dan lain lainnya.
Kalau kita sudah melakukan apa yang perlu dari semua poin diatas, dijamin deh serangan panik dalam keadaan emergency bisa dikurangi. Saya akhiri dengan sebuah cerita yang pernah saya baca, sayang sumbernya lupa – jika ada pembaca yang tahu, silakan di KOLOM KOMENTAR
Di sebuah warehouse luas untuk menyimpan bahan makanan yang berpendingin dan bersuhu sangat rendah, seorang pegawai yang tengah memeriksa stok makanan, terkunci di dalamnya. Sayangnya tak ada media baginya untuk menghubungi dunia luar memberitahu bahwa dia terkunci disana. Satu-satunya kesempatan adalah menunggu sampai keesokan hari. Siapa yang bisa menunggu sampai esok hari di tempat seperti kulkas raksasa begitu? Ketika ditemukan, si pegawai sudah tak bernyawa, tubuhnya meringkuk seperti menahan kedinginan. Ironisnya, pada hari dimana dia terkunci, pendingin di ruang tersebut bermasalah, dan suhunya tidak dingin seperti di kulkas. Nah lho! Mungkinkah, karena panik dan merasa tak ada harapan, si pegawai menutup semua kemungkinan harapan dari benaknya, dan membiarkan nyawanya melayang tanpa melawan?
Begitulah otopsi menyebutkan sebab kematian. Entahlah, but never underestimate the power of mind, my friends…
No comments:
Post a Comment