Wednesday, June 16, 2010

Bertapa Meditasi di Baturiti




lokasi meditasi di Saranam, Baturiti
“Hah? Bertapa? Ya Allah! Emangnya kurang apa aku mendidik kamu, anakku. Sekolah tinggi tinggi kok ya jadi begini. Mau cari apa? Amit amit, anakku jangan sampai muja setan…” Dalam kamus ibuku berbertapa itu identik dengan jalan mencapai keinginan dengan meminta bantuan jin dan setan. “Mau cari apa sih?” Katanya. “Mau kaya, ya tinggal kerja. Mau dapet jodoh lagi, ya cari yang bener. Mau disayang orang ,ya kalau kita baik, masa’ iya enggak disayang…”

Mengetahui persis bagaimana tipe ibu saya, reaksi ini sudah saya perkirakan. Semula saya ingin bohong, karena tidak mau beliau khawatir dan tak tahu kemana gerangan anaknya ini. Tapi takut ketula, walaupun ‘white lie’ akhirnya saya beranikan diri mengatakan yang sebenarnya. Bukan untuk minta ijin, karena saya perempuan dewasa yang sudah tak perlu ijin orang tua. Tapi memberitahunya karena saya menghormatinya.

Iya, memang saya berniat berbertapa. Tapi bukan untuk mencari semua yang ibu saya khawatirkan. Saya jenuh dengan hidup kota Jakarta yang hiruk pikuk. Saya sedang jenuh dengan hidup saya sebagai kuli perusahaan. (Tapi mau tidak mau, itu sumber piring makan saya, jadi harus tetap dipenuhi.) Rasanya tak adil juga sih kalau saya jenuh dan bekerja asal-asalan seadanya menuruti mood saya. Dan saya kasihan kepada otak dan mulut saya yang bekerja tak henti, nyerocos sana dan sini. Saya ingin liburan yang juga meaningful dan menghasilkan. Maka ikutlah saya tapa brata di Baturiti, Bali, diadakan oleh organisasi Bali Usada.

Sesi Tapa Brata ini dilakukan dalam bahasa Inggris. Lho! Kok bertapa pake bahasa Inggris segala? Yang pertama, peserta butuh arahan panitia, yang dilakukan melalui instruksi verbal berbahasa Inggris. Yang kedua, bukannya mau sok-sok-an tidak cinta bahasa sendiri. Tapi kelas berbahasa Indonesia sudah penuh nuh! Baik yang diadakan di Cisarua maupun di Baturiti. Kelas berbahasa Inggris sebenarnya ditujukan lebih untuk para peserta non-Indonesia, tapi terbuka juga buat peserta lokal. 

Apa sih?
Baiklah yang bisa saya ceritakan adalah impresi pengalaman saya ikut serta di program Tapa Brata. Sederhananya, kegiatan ini mengajak peserta untuk berpuasa dari omong, merokok, menulis, membaca, mendengar musik, menonton tivi selama 6 hari. Di sela sela puasa itu, kami bermeditasi, membersihkan sampah sampah hati dan pikiran, olahraga, makan sehat vegetarian, dan belajar fokus, cara bernapas yang betul, belajar cara hidup sehat jiwa, mental dan raga.

Mungkin ada pembaca yang bertanya tanya, emangnya nggak bisa melakukan semua itu tanpa bertapa? Tanpa harus puasa omong dan alat alat komunikasi? Ya, bisa aja sih, kalau orang yang bersangkutan tabah menjalani hidup spartan dikelilingi oleh segala macam godaan email, web, handphone, blackberry, tv, keluarga, pacar, hubungan sex, nge-gosip, senyam senyum sama orang, makan bablas seenak udelnya dewe…siapa sih yang tahan digoda begitu?

Menjauh sekejap dari hiruk pikuk rutinitas dan hidup, dan sebagai gantinya beraktifitas se-sederhana mungkin akan memungkinkan kita mengisi energi. Komputer saja dari waktu ke waktu mesti di de-frag untuk memastikan sistim nya punya cadangan ruang agar bisa bekerja secara efisien. Nah kita juga mesti membersihkan pengalaman pengalaman hidup, terutama yang buruk, supaya masih ada ruang dalam benak kita untuk mencetak mutu hidup yang lebih baik. Hidup yang memaksimalkan fungsi semua panca indera.

Hidup kita sudah terlalu banyak tergantung pada teknologi sehingga sehari saja tanpanya rasanya seperti orang yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Coba saja lihat, jika koneksi computer atau internet di tempat kerja kita tidak berfungsi di suatu pagi, pasti kita kebingungan mau apa ya? Untuk saya sendiri, sebenernya tak terlalu tergantung pada teknologi seperti laptop ataupun handphone apalagi blackberry. Tapi selalu sulit untuk ketinggalan dari pena, kertas dan buku. Di program inilah saya belajar mendisiplinkan diri untuk itu.

Tempat melakukan tapa brata kami berlokasi di Banjar Pacung, Baturiti, disebuah tempat kecil yang indah namanya Saranam Eco-Resort. Di tempat ini, area kami bermeditasi letaknya di lembah dan hanya untuk grup kami sendiri, jauh dari tamu tamu resort yang lain. Untuk turun ke tempat ini orang bisa berjalan turun melalui tangga setinggi 5 tingkat, atau menggunakan sarana transportasi elevator sederhana, cukup untuk 4 orang tanpa menyentuh satu sama lain.

Teman Intim Bertapa
Siapa saja yang punya niat, berani mencoba, bisa ikutan program ini. Tak perlu persyaratan khusus. Di kelas saya, ada peserta 19 orang, dari berbagai bangsa, Australia, UK, Switzerland, US, Srilanka, Singapore dan 4 orang diantaranya dari Indonesia.   Kongga, satu satunya peserta cowok Indonesia mengira saya berasal dari Srilanka. Saya tersanjung juga, karena salah satu peserta yang benar benar dari Srilanka bernama Manjula, berkulit hitam manis, cantik eksotik. Perempuan mana yang tak suka diasosiasikan dengan itu? Begitu juga dengan saya. Bagusnya saya tahu diri. Hitam manis iya dong. Cantik Eksotik? Iya juga sih, dengan catatan kalau mata pemandang wajah saya, bolor…


Para peserta berfoto dengan Master Meditasi Pak Merta Ada
 Selain saya, ada Laras, seorang model dan Alice seorang artis ada diusia prima pertengahan 20-an. Dalam hati saya mengagumi tekad mereka, tapi juga menebak, mungkin mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui disana. Give up facebook, handphone, dugem, rokok, dan puasa omong? Mana tahaann!

Kami menginap di bungalow.  Tiap bungalow umumnya di-isi oleh 3 orang. Memang sudah diseting begitu, rupanya ada juga tujuannya. Tantangannya adalah conquering comfort zone, keluar dari ruang nyaman kita, mengatur jadwal gentian mandi dan toilet dengan waktu yang sangat terbatas tanpa berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Dan menerima dengan lapang dada kebiasaan teman sekamar yang mungkin mengganggu, misalnya ngorok waktu tidur, atau berjalan mondar mandir ruangan pada saat orang lainnya tidur lelap.

Teman sekamar saya ada dua orang, Cecil dari Switzerland, seorang surfer dan massage therapist, dan Linda, direktur usaha perjalanan menyelam. Linda, di usianya yang matang selalu kelihatan kalem, sementara Cecil, hampir identik dengan namanya, selalu pecicilan. Dia selalu berusaha menggunakan komunikasi non-verbal dengan tangannya yang suka mencolek colek, mulutnya yang bergerak gerak mengatakan sesuatu tanpa suara, matanya yang sering mengedip sebelah seolah melempar senyum. Dan senyumnya yang menawan itu juga sering di obral. Sebenarnya ini harus dihindari selama melakukan tapa brata, tapi susah juga, bagaimana memberitahu dia tanpa bicara? Jadi Linda dan saya membiarkannya, dan kadang meresponnya dengan senyum juga.


 Membisu seminggu
Aneh juga untuk saya yang biasanya cerewet, doyan omong, dan tak bisa duduk diam, acara membisu ini benar benar saya nikmati. Bahkan pada hari ke –enam, sore hari- pada waktu setiap orang sudah boleh omong lagi, saya merasa sedikit terganggu dengan peserta lain yang ngobrol dengan suara keras. Ruang makan yang biasanya khidmat, dan nikmat untuk menikmati makanan, berubah menjadi pasar yang ramai, orang bicara sana sini. Saya duduk diam menikmati makanan, dan mengunyah sebaik baiknya. Merasakan setiap suapan, setiap kunyahan, sembari berterima kasih dalam hati kepada siapapun yang berjasa membawa makanan ini sampai ke mulut saya. Mulai dari para petani yang bercocok tanam dan memanen, para supir yang mendistribusikan sayuran sampai ke tempat ini, para pemasak yang dengan ahlilnya menciptakan masakan lezat. How I missed the quiet moments…

Pada program ini, di hari pertama setelah mendaftar, berkenalan dan mendapatkan brifing dari panitia, para peserta diminta untuk mengumpulkan dompet, laptop dan hp nya, serta makanan supply yang barangkali saja peserta bawa sebagai persiapan takut kelaparan. Memang sih, buku note, atau pulpen tidak diminta dikumpulkan, tapi diharapkan kita tidak memakainya selagi bisa. Menulis cuma diijinkan jika kita meminta sesuatu yang penting kepada panitia, misalnya sakit.

Di hari pertama dan kedua Meditasi, terasa berat sekali, bukan hanya bagi saya, tapi juga untuk yang lain, mungkin lebih lebih bagi kedua rekan meditasi saya Laras yang socialita dan Alien yang artis itu. Apalagi keduanya perokok, pasti super berat tantangan menyepi seperti ini. Jadi saya bisa memaklumi jika toilet wanita di belakang ruang Meditasi selalu berbau rokok. Hmm, pasti tempat yang cukup nikmat dan tersembunyi buat sesekali merokok pada jam istirahat. Hehehe.

Berapa seringnya semasa kami berbertapa, saya ingin sekali menuliskan isi hati saya, atau pengalaman batin yang saya alami, atau keindahan alam yang saya nikmati, tapi inilah saatnya melatih pikiran menjadi lebih tajam untuk mengingat dan menghidupkannya kembali manakala diperlukan, tanpa harus membuka catatan. Latihan yang sangat berguna buat saya yang terlalu mengandalkan banyak catatan, dan terlalu malas menyimpannya dengan baik dalam benak pikiran saya. Seringkali saking cepatnya peristiwa sehari hari terjadi, atau saking malasnya saya mencatat dalam benak, maka sulit betul buat saya mengingat, kemarin itu, apa saja sih yang saya lakukan? Lalu saya sekarang mulai melatih diri untuk mengingat hal hal kecil yang saya lakukan sehari hari…

Ya, buat saya tantangan terberat ya itu tadi, tak bisa menggunakan kertas dan pulpen untuk merekam kejadian atau perasaan saya. Dan tentu saja meditasinya. Secara natural, saya bukan tipe orang yang bisa duduk tenang untuk waktu lama. Dengan latihan yang saya dapat dari profesi saya sebagai orang kantoran, memungkinkan saya untuk duduk lama di kursi saya di depan komputer atau meeting. Tetapi duduk Meditasi adalah hal yang berbeda. Susaaah sekali. Duduk, diam dengan mata tertutup, kaki bersila, dan pikiran konsentrasi. Kaki semutan, pinggang dan punggung pegel, pikiran melayang layang, ngantuk, haduuuh. Kalau sudah begitu, satu satunya yang saya rindukan adalah jari jari Pak Merta Ada sang Maestro Meditasi mengetuk ujung mikrofon menandakan berakhirnya sesi. Tuk! Tuk! Diikuti suaranya yang mendadak menjadi yang paling merdu sedunia buat saya:: “you may finish the meditation now”. Aahhhh bebaaass!

Hiburan Kodok dan Tonggeret

Pemandangan dari ruang makan terbuka
Untungnya, acara Meditasi ini tidak dilakukan terus menerus. Selalu ada olahraga ringan setiap selesai, dan istirahat yang cukup. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu istirahat, wong tak ada dunia hiburan yang akrab sekali dengan kita. Semuanya terlarang.

Pemandangan dari kamar saya
Jadi kebanyakan dari kami asyik berjalan jalan sekeliling area. Ada yang asyik mondar mandir menikmati empuknya lumut tebal yang tumbuh di sisi jalan setapak, ada yang kagum mengamati kecebong di pinggir sawah, ada yang nanar menatap kolam lotus seolah menghitung berapa banyak helai bunganya, ada yang merenung tak mengerti kenapa pohon papaya kurus yang tumbuh di tembok itu subur berbuah papaya yang montok montok…Mungkin ada juga yang sedang menyesali diri, duh ngapain sih gue disini, udah bayar, disiksa lagi.. …

Menurut penyelenggara, dari kelas sebelumnya, ada juga yang merasa seperti itu dan tak tahan baru beberapa hari ngabur dari peace camp ini. Di kelas saya ini, takjubnya, tak ada seorangpun yang meloloskan diri, biarpun ada juga yang punya permintaan aneh aneh seperti minta dicarikan tukang pijat atau minyak kayu putih. Tapi yang paling lucu adalah permintaan supaya pengusir burung dari sebilah bamboo menjuntai di sawah, beserta orang orangan sawah yang berisik berayun tertiup angin itu dicabut saja! Letaknya yang dekat dengan ruang Meditasi dan bunyi nya yang kreoot kreooott mengganggu konsentrasi, katanya. Wah! Ya repot dong! Jangan jangan nanti semua kodok Bangkong, jangkrik dan tonggeret yang ngamen di sekitar situ diminta untuk diam. Padahal untuk saya, suara konser alam ini sungguh sajian sempurna dan mewah mengiringi nyanyian senyap saya selama Meditasi.

prinsip pikiran harmonis. catatan: typo seharusnya MIndfulness: Being in the present
Puasa dari membaca buku, menulis, ber hp dan laptop ria, mendengar yang tidak penting, ternyata berguna sekali untuk mengkalibrasi pikiran, dan pada saat yang sama berfungsi seperti detox bagi pikiran saya. Saya sudah bertekad, akan kembali ke program ini lagi, mengulang pengalaman luar biasa, semoga bisa tahun ini, jika cuti saya masih tersisa. Saya yakin kali itu, ibu saya takkan lagi berpikir saya bertapa untuk mencari bantuan jin dan setan hahaha!

“May All Beings Be Happy”


Yang berminat ikutan meditasinya, bisa cari tahu disini: http://www.baliusada.com/content/section/11/46/

Pemburu Cinta (jilid 2)

Ini seri kedua dari serangkaian kisah sang pemburu cinta. Kalau mau dirunut, seharusnya kisah ini menjadi kisah awal di masa lalu dari seri perburuan saya mencari cinta.
Seperti layaknya sebuah proyek, sebelum dimulai dengan yang sungguhannya, seringkali dibuat mock-up nya. Begitulah strategi pertama yang terpikir sebelum saya berani menerjunkan diri di hutan belantara maya dalam rangka memburu cinta. Latihan kecil kecilan sebagai pemanasan pasti diperlukan. Tapi apa ya? Malu dong, bilang bilang teman sekelas, bisa turun gengsi. Apalagi rasa percaya diri ini sedang turun turunnya seperti nilai rupiah terhadap mata uang asing. Tapi saya orang yang tak mau menyerah pada keadaan…yang penting bisa mendapatkan cara berburu cinta dengan murah meriah manjur! Seperti dalil ekonomi yang saya pelajari di SMP, dengan usaha yang sekecil kecilnya mendapatkan hasil yang sebesar besarnya. Wah mengingat hukum ekonomi ini membuat saya bersemangat berat!

Saya mulai dengan mengamati. Teman teman sekelas saya, hm! Tak minat! Bukan mereka tak menarik, tapi saya punya rule of thumb sedari dulu, jangan jadi pagar makan tanaman. Tidak pernah pacaran dengan teman sekelas, teman sekantor, teman sepermainan. Bisa bisa bermasalah, dan ketula! Tapi paling tidak, saya bisa memanfaatkan ibu kost, seorang nenek 70-tahunan yang tomboy, energetic, dan mendunia, dia tahu banyak hal. Siapa tahu dia punya informasi. Tentu saja, tidak dengan gamblang bilang saya sedang berminat mencinta dan dicinta, dengan catatan jangan dengan mahasiswa.

Suatu kali dia menyebutkan sebuah grup dansa gratisan, Irish dancing club, yang biasanya latihan di sebuah community club, 15 menit berkendara kea rah gunung dari tempat kos saya. Seketika saya terbayang adegan dansa romantis dan keren di film Shakespeare in Love. Menurut Roy –nama bu kost saya itu- dalam satu tarikan dansa, kita akan berganti ganti pasangan. Wah, boleh juga nih. Inilah hutan potensial untuk tempat berburu. Siapa tahu dapat macan, hrroaarr!!! Cihuy! pikiran jorokku sudah berdansa dengan cowok cowok Irish berbadan kekar, tapi romantis. Dan siapa tahu salah satu dari mereka berminat mencintai cewek manis mungil yang setia, lucu dan penuh nafsu (terjemahan ngasal dari passionate)

Dengan usaha yang halus, saya berhasil membujuk Roy, sang ibu kos, untuk mengantar ke community centre tempat Irish dancing class beraksi. Dengan penuh semangat saya memasuki hall tempat dansa. Banyak sudah yang datang, mereka ramah-ramah. Sampai dansa dimulai, saya cuma menemui ibu-ibu setengah baya ke atas, dengan beberapa orang bapak bapak gaek, yang mungkin sudah tak nafsu pergi ke bar dengan konco-konconya. Yaaa, kecewa! Pelajaran pertama, cari informasi dari sumber yang tepat! Informasi Roy mungkin lebih tepat untuk nenek-nenek yang kesepian dan mencari kegiatan. Bodoh juga sih saya nya…

AKhirnya saya mencoba peruntungan di tempat lain. Kali ini dengan menelusuri iklan-iklan pencari cinta di koran komunitas lokal gratisan, Georgia Straight. Cara bekerjanya mirip mirip iklan jodoh di Kompas, dimana sang pencari menjual profilenya, dan memaparkan pasangan seperti apa yang dicari. Wah kebanyakan pria mencari pria, atau wanita mencari wanita. Tak terlalu banyak iklan pria mencari wanita. Apalagi mencari yang spesifik, yang hitam manis, mungil, lucu dan setia seperti saya. Kebanyakan kualitas saya, tidak gampang dilihat dengan kasat mata (hehe ge-er dikit). Jadi agak susah juga berharap macam macam. Kebanyakan iklan itu mencari perempuan tinggi, pirang, sensual, dan banyak ketentuan fisik lainnya. Huh! Perempuan dengan deskripsi seperti itu, mana mungkin juga mencari cinta ala Georgia Straight? Berdiri saja di depan stasiun kereta, sudah pasti akan banyak lelaki yang tergila-gila melihatnya.

Singkat cerita, akhirnya ada juga sasaran yang nampaknya cocok. Dia adalah seorang lelaki kaukasia sederhana –down to earth, katanya- suka bersepeda, suka buku, dan cukup melek budaya non-western. Dia sebutkan pula statistic tubuhnya, dengan tinggi sekian inchi, dan berat sekian pound. Saya tak ngerti persis ukuran seperti ini. Semuanya ada di satu kolom kecil dua paragraph saja, disertai nomer hotline. Cara bekerja hotline ini susah susah gampang. Para pencari cinta yang memasang iklan, membayar paket space di surat kabar, sekaligus mendapatkan sebuah kotak suara, dimana dia akan meninggalkan suaranya, untuk para peminat mengakses melalui nomer keanggotaannya. Sebagai peminat, saya akan bisa mengakses suaranya, dan meninggalkan pesan suara juga. Pesan suara dari peminat ini Cuma bisa diakses oleh sang pemasang cinta saja.

Tapi di tahap seperti ini, saya tak mau terlalu banyak cingcong dan rewel. Kita lihat saja lagi. Meskipun saya tak pernah berjudi di Las Vegas, ataupun di Macao, tapi dalam hidup, saya suka berjudi dengan nasib saya. Inilah salah satunya. Setelah timbang menimbang, akhirnya, saya hubungi nomer hotline pencari cinta itu. Setelah tekan sana tekan sini, saya mendengar suara…

Suaranya cukup merdu bak buluh perindu. Seru juga membayangkan seperti apa orangnya cuma berdasarkan suaranya. Karena proyek berburu ini merupakan uji coba tentu saya mesti berhati hati. Kalau untung, ini bisa jadi sungguhan, tapi mana tau. Salah satu bentuk kehati-hatian saya adalah dengan tidak memberikan nomer telpon, atau alamat tempat tinggal saya. Saya set sebuah email address dengan nama palsu, just in case diperlukan. Jadi, untuk berkontak-kontak, akan terserah pada saya untuk memulai, atau mengakhiri. Lho, namanya juga berburu, iya gak? Jadi kontak telpon-telponan kami biasanya dimulai oleh saya yang menelpon ke nomer cowok itu. Seperti layaknya masa penjajakan, urusan ngobrol di telpon selalu ngalor ngidul sembari mencari benang merahnya, seperti apa ya, cowok ini, dari ceritanya dan response nya terhadap saya.

Tidak sampai 2 minggu, dia mengajak kopi darat. Saya gembira, sekaligus kecut. Bagaimana kalau dia ternyata kecewa, tampang saya tak seindah suara saya? Tapi peduli amat, namanya juga uji coba. Dapat, untung, tak dapat, buntung (buat sementara). Daripada penasaran. Kami memutuskan untuk betemu di depan bioskop di daerah Granville jam 7-an malam, kebetulan hari itu saya berniat menonton filem indie dokumenter tree hugger (Butterfly). Filem mulai jam 8 malam, masih ada waktu ketemu cowok itu, kalau mujur, dia bisa saya ajak nonton juga, daripada nonton sendirian.

Jam 7 kurang, saya sudah mejeng di pinggir jalan di Granville, kali ini saya tak repot repot bersiap siap, kalau dia terima saya syukur, kalau tidak ya keterlaluan... Waktu itu musim dingin, jadi saya cuma berjumper ungu, tidak berpakaian provokatif. Saya bilang, “kamu lihat saja kalo ada liliput berjumper ungu, itulah saya…”, sementara dia sendiri, katanya akan datang dengan sepeda, dan berjaket kuning. Saya berharap, pada saat saya datang ke tempat bertemu, dia sudah berdiri disana dengan gagahnya bersama sepeda kesayangannya. Sudah terbayang, cowok ini pasti the hero of environment, bersepeda kemana-mana, berotot dan sehat, karena menggenjot terus setiap hari. Di daerah ini, kontur nya beragam, sudah pasti harus kuat dan sehat untuk bisa genjot sepeda naik turun jalanan.

Sayangnya, sayalah yang harus menunggu. Sialan! Saya sudah mengikuti jam western, eh, dia yang mengikuti jam karet! Tunggu punya tunggu, kepala saya sudah puyeng tengok kanan kiri, mata jelalatan mencari cowok bersepeda berbaju kuning. Banyak sih, cowok cowok ganteng bersepeda, tapi jaket kuning? Haduh, cowok macam apa yang memilih berjaket kuning on a date? Emangnya mahasiswa UI yang lagi demo? Atau petugas pembetul jalanan yang harus mencolok supaya tidak ditabrak mobil? Ah saya jadi sangsi. Tapi jangan panggil saya Imung, kalau saya tak punya hati baja. Urusan seperti ini bisa membuat 3-AN saya bertahan. Saya punya rasa penasarAN, harapAN, dan kesabarAn seluas angkasa. Saya cuma bisa berdoa, semoga pengorbanan saya berdiri, dan menengok kiri kanan seperti wayang golek, berakhir dengan mulia.

Haduh, sudah hampir habis kesabaran saya, badan saya tambah mengkerut karena kedinginan, dan leher saya sudah pegal tengok kanan kiri. “Bego lo Mung! Cowok apa-an yang membiarkan cewek menunggu selama ini?” hati saya mengumpat. Mahluk bertanduk dan mahluk berhalo putih di kepala saya masih berperang. “Udah pergi aja!’”. “Jangan, sapa tau cowok itu guanteng dan mau sama elo…” Hampir 30 menit menunggu, akhirnya, seorang cowok dengan sepeda kumbang mendekati saya.

Si mahluk bertanduk di kepala saya terlihat menari nari, “tuh kan, gue bilang juga apa, ngapain nunggu buat cowok model begituan, rasain deh lo, rugi!”… sementara mahluk berhalo putih masih saja membujuk, “siapa tau orangnya baik. Tampang bukan segalanya. Elo juga gak cakep cakep amat, gak usah rewel deh…” Kesal saya bertambah, karena pertarungan kedua mahluk di kepala saya, rasa capek, dan kecewa karena harapan tak sesuai kenyataan. Tapi jangan panggil saya Imung, kalau saya tidak bisa memberi senyum semanis madu kepada orang, meskipun hati ini geram. Inilah ajaran Jawa dari ibu saya.

Meskipun dia minta maaf, rasa kecewa saya sudah tak terobati. Terutama, jujur saja karena harapan tak sesuai kenyataan. Untungnya saya bisa berkilah supaya bisa cepat hengkang dari hadapannya, ada filem yang saya mesti tonton, dan udah beli tiket. Jadi saya coba permisi. Sialnya lagi, dia bilang, “oh kayaknya filemnya menarik, saya juga mau nonton ah!” Pelajaran buat cewek-cewek: jangan suka terlalu jujur sama orang belum dikenal.

“Mati deh gue!”, pikir saya. Bagaimana mungkin saya bisa melarangnya pergi nonton filem yang akan saya tonton? Emangnya saya pemilik bioskop ini. Hak asasi dia dong. Manyun-nya lagi, bioskop disini masih lebih primitive daripada yang kita punya di Jakarta. Kursinya lebih sempit daripada di Jakarta. Dan tidak pakai nomor kursi. Siapapun boleh duduk dimana saja. Siapa cepat dia boleh milih. Wah, kacau nih. Dia pasti duduk disebelah saya. Sudah begitupun, dalam hati saya masih bersyukur. Untung filemnya dokumenter, tentang seorang cewek yang hidup lebih dari setahun di atas pohon red tree demi mempertahankan supaya pohonnya tidak ditebang. Coba kalo filemnya romantis atau beradegan hot, hiiyy mana tahaaann!

Epilog
Saya memang tak tahu diri, sudah jelek, kok belagu, masih kepingin yang cakep juga. Walaupun belum tentu juga kalau cowok itu cakep, saya lantas mau aja. Namanya juga cita-cita, boleh dong setinggi bintang di angkasa. Perkara enggak tercapai, ya judulnya aja cita-cita…

Akhir cerita, ditengah filem, saya bilang, saya pingin ke toilet dulu…padahal saya menyelinap keluar dan pulang dengan tangan hampa! ***

Pemburu Cinta (jilid 1)

Menemukan cinta. Aaah, indahnya. Di masa lalu, saya selalu menjadi seseorang yang menunggu, barangkali saja ada cowok yang sudi mengejar ngejar saya. Sayangnya, ini tak sering terjadi. Di masa kini, kayaknya saya bisa berganti peran, dan menjadi sang pemburu. Itulah yang terpikir ketika saya bersekolah di luar negeri. Karena hidup yang membosankan, bumbu sedap cinta dibutuhkan, dan saya Cuma punya budget mahasiswa, akhirnya memutuskan untuk memburu pacar non mahasiswa. Pacaran dengan mahasiswa, modalnya dengkul dan tampang saja. Ini namanya tambah runyam, pikir saya. Pacaran dengan non-mahasiswa lebih banyak manfaatnya. Lebih dewasa. Punya penghasilan sendiri. Tidak pusing dengan jajan bayar sendiri-sendiri. Saya bisa belajar bahasa Inggris lebih cepat. Jalan jalan ke tempat tempat yang belum pernah saya kunjungi sembari indehoy. Makan malam romantis dengan ongkos yang minim. Hadiah hadiah… (mengharap.com – nih! Siapa tahu kan?)

Tentu saja untuk berburu, diperlukan perilaku assertif-agressif, bukan melulu menunggu bulan jatuh dari langit. Sebagai pemburu, saya mesti putar otak memilih hutan yang tepat untuk sasaran perburuan. Sungguh tak gampang. Bisa saja saya pergi ke mall, bar, atau klub olahraga. Tapi realistis saja, biaya tinggi dan kompetisi berat. Harus bayar minum sendiri di bar, tergoda belanja di mall, atau bayar membership sports club sembari berburu. Belum tentu juga banyak sasaran. Pasti banyak perempuan pemburu yang bermodal tampang dan tinggi badan lebih bagus. Ini namanya besar modal dan kecil kemungkinan berhasil.

Setelah membuat business plan yang feasible dan menimbang nimbang untung rugi, saya memutuskan jalan terbaik adalah berburu cinta lewat Internet. Ya, mungkin bagus mencoba. Biaya tentu ada, tapi masih bisa di tolerir deh, apalagi tingkat keberhasilannya mungkin bisa lebih besar. Banyak yang bisa saya kadali dengan tulisan dan foto yang sudah di touch-up, pikir saya. Sudah terbayang coklat, makan malam romantis, nonton, piknik ke gunung dan pantai, bunga bunga segar setiap minggunya, pelukan dan pujian. Semua gratis! Ah indahnya dunia.

Tapi mimpi saya dibangunkan oleh kenyataan bahwa bila ingin memasang profile di suatu situs, pasti saya perlu menciptakan iklan personal yang mantap. Berbekal pengalaman sebelumnya sebagai seorang public relations, akhirnya saya coba menulis personal ad yang bombastis untuk ukuran saya yang cari pacar di Jakarta pun sulitnya setengah mati. Ah Mau malu apanya? Wong pake nama samaran kok. Pasang foto pun bisa bisanya kita saja. Kulihat foto ku sewaktu tingkat satu kuliah cukup representative. Senyum lugu. Wajah muda dan segar. Bohong sedikit, boleh dong. Toh yang terpasang foto sendiri, bukan foto artis…Tuh lihat saja para kokiers, ada JC , dia pakai foto buto ijo yang ngetop, atau Bocah Tua Nakal yang pakai foto kakeknya, dan Janda_Keren yang pakai foto cantik mirip artis latin.

Voila! Bermodal keanggotaan bayar di salah satu situs pencari cinta terkenal, Jadilah iklan saya. Setiap hari menjadi hari yang penuh harapan. Saya tunggu reaksi dari para pencari cinta lain. Sehari. Seminggu. Tak ada yang terjadi. Tak seorangpun yang menyapa di ruang maya. Iseng iseng saya coba juga menyapa beberapa profile. Sampai mata pedas dan nanar memandang layer computer, tak ada yang balas menyapa. Wah!

Saya pikir iklan profile itu cukup bagus, “Attractive slim woman, with sweet smile to melt your heart. Smart, independent and adventurous …” yah saya akui, iklan ini sedikit norak tapi ahem, saya jujur kok...tapi jujur saja, iklan ini gagal menarik peminat.

Setelah dipikir pikir, kegagalan ini pasti disebabkan karena kalimatnya kurang menggigit dan menggoda. Maklum, biasanya menulis profil perusahaan atau press release, saya sungguh tak tahu bagaimana jual diri sendiri. Akhirnya saya putuskan untuk menelpon penulis professional, yang biasanya memasang iklan di Koran komunitas setempat. Jika saya ingin memancing ikan hiu, tak mungkin berumpan cacing kan? Bermodal sedikit, mungkin akan menghasilkan lebih banyak…Sayangnya, bukannya penulis handal untuk iklan yang saya telpon, tapi penulis khusus obituary, itu tuh penulis yang biasanya menulis kenangan orang yang sudah pergi ke akhirat. Maklum, waktu itu saya tak paham obituary itu apa. Bingung juga sih waktu dia bertanya: “so, siapamu yang meninggal?”

Apa boleh buat, akhirnya saya harus puas dengan iklan buatan sendiri, dan berharap Tuhan berbaik hati mengirim ikon senyum ke layar computer saya. Beberapa minggu setelah pengorbanan menunggui layar computer sampai mata pedas dan pantatku rata, penantian saya berbuah. Tuhan sayang pada hambanya yang gigih. (huh! Kalo begini aja baru ingat Tuhan…)

Mulailah petualangan saya mencari cinta lewat dunia maya. Satu demi satu. Setiap malam sepulang kuliah, bukannya mengerjakan tugas esok hari, saya asyik chatting online. Banyak dari jumpa darat berakhir dengan kekecewaan. Biasanya sih, dari pihak cowoknya. Harapan melebihi kenyataan. Iklan tak sesuai kenyataan hahaha. Ya, dari sayapun ada kekecewaan. Karena di tolak hehehe. Banyak sekali tolakan. Sebegitu banyaknya, sampai sampai saya tergoda untuk menulis sebuah buku 101 Dummy Guide to Accept Rejection Safely. Petunjuk menerima penolakan cinta dengan aman, tanpa khawatir tangan sakit karena meninju sang cowok, atau melempar barang sendiri karena kesal, atau bahkan tergoda untuk bunuh diri karena malu hati dan rendah diri, setelah ditolak mentah mentah…

Tapi Tuhan juga sayang orang penyabar. Saya terima penolakan demi penolakan tanpa kehilangan akal sehat. Dan sesekali saya juga punya kesempatan untuk menolak. Seperti cowok yang datang jumpa darat, sambil membawa anjingnya. Sepanjang duduk di taman, dan mengobrol, tak hentinya dia mengelus elus anjingnya dan bercerita tentang sang anjing. Bukannya saya tak suka anjing, tapi rasanya akan susah buatku bersaing dengan anjing betina itu. Anjing itu cantik dan lucu. Namanya pun indah: Sophia. Bayangkan kalau saya jadi pacar si cowok ganteng ini. Pasti rasa percaya diri akan berkurang setiap kali dia panggil nama saya: IMUNG…. Bandingkan mana lebih mesra dan merdu dengan SOPHIA….

Suatu hari, kebesaran hati saya menerima penolakan mentah mentah bertubi tubi itu akhirnya berbuah juga. Saya temukan juga cowok impian. Sepertinya sih ganteng ya, kalau foto yang di berikannya asli. Dia seorang wartawan dari sebuah surat kabar internasional yang cukup ngetop. Dia juga pemilik bisnis travel safari adventure. Pintar. Kaya. Suka berpetualang. Haduh! Pas banget, pikirku.

Setelah 3 minggu bercakap online hampir setiap hari, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Malam sebelumnya, saya sampai bermimpi menunggang gajah bersama sang cowok dalam sebuah petualangan di Kenya.

Pada hari yang penting itu, saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk memastikan potongan rambut baru, membeli baju baru, dan berlatih berdiri dan tersenyum di depan cermin. Saya memutuskan untuk menunggunya di tempat terbaik: Starbuck. Iya sih, bukan tempat yang romantis, tapi ini tempat paling ideal bertemu dengan orang asing. Aman, banyak orang, dan tidak terlalu kentara kalau kita sebenarnya sedang dalam misi blind date. Lagi pula, disini kita bisa duduk berjam jam, meskipun Cuma pesan segelas kopi. Cocok untuk kantong mahasiswa.

Jadilah saya menunggu di Starbuck. Groginya tak karuan sampai sampai tak ingat lagi seperti apa wajah cowok yang akan saya temui itu. Setiap ada cowok yang masuk ke tempat ngopi ini, pasti tak kelewat dari radar. Inikah dia? Saya bahkan tak menyadari saking gugupnya, saya bertanya tanya pada beberapa orang cowok yang kelihatannya sedang menunggu.

“excuse me, are you Jim?” “Hi what’s your name?”

Sewaktu menunggu dengan gelisah, tiba tiba seorang cowok berjalan mendekati tempat saya duduk. Jangkung. Ganteng. Hati ini serasa mau meledak. Hore! Terima kasih Tuhan! Saya mendapat lotere! Duh, lutut saya gemetaran. Saya Cuma bisa melongo. Tak mampu bersuara. Benak saya menari nari liar, dan berharap. Tuhan, tolong saya jangan ditolak lagi. Janji deh, kalau cowok ini jadi pacar saya, sungguh saya tak keberatan berlari larian sembari telanjang dada di seputaran Robson Street untuk merayakannya…

Sambil menentramkan hati yang dag dig dug, dengan gugup saya coba buka mulut. Baru saja saya ingin memanggil namanya, dia tersenyum pada saya. Wah rasanya hampir semaput! Lupakan deh senyumnya Brad Pitt. Itu Cuma ada di film, bukan senyum kepada saya pula. Yang ini asli! Dia tersenyum kea rah saya. Wow! serasa bermimpi…

Pada detik detik yang paling menentukan itu, dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. ‘God, make him my knight in the shining armour…’ doa saya. Dasar manusia, bisanya minta aja.

Suaranya yang empuk dan simpatik, membangunkanku dari rapal rapal doa. Dengan senyumnya, dia menyapa: “Hi, Estella!”

Owalah! Biyung! Saya berharap saat itu juga namaku bukan Imung. Saya tak keberatan berbohong jika namaku Estella. Ternyata, saya ge-er saja, tatapan matanya terarah ke seseorang yang duduk tepat di belakang saya.

Jadilah saya menanti. Dua jam dengan secangkir kopi. My dream date tidak pernah menongolkan wajahnya. Rugi berkali kali, ongkos potong rambut, ongkos baju baru, ongkos internet, ongkos secangkir kopi, dan ongkos perasaan... Owalah! Biyung!

Sindrom Cinderella & Berat Badan

Salah seorang teman kerja saya Fitri gadis yang manis dan supel. Sudah dari sononya, dia penganut paham dan penderita Cinderella syndrome yang percaya bahwa kebahagiaan sejati terletak di tangan seorang kesatria berpelindung baja yang akan membawanya ke mahligai perkawinan. Sayangnya sampai saat ini sang ksatria masih sembunyi di langit, dan sementara menunggu, Fitri menyalahkan ukuran tubuhnya yang tidak bisa dibilang langsing sebagai penyebab susahnya mendapatkan jodoh.

Kasus saya lain lagi. Meskipun saya tak gendut gendut amat, empat tahun belakangan ini, selalu mendapat komentar yang sama dari banyak teman “ wah elo sekarang gemuk ya…” Empat tahun, waktu yang lama untuk menambah berat badan dari 48 kg sampai 60 kg sekarang… Semula saya berlagak budeg saja dengan komentar begitu, tapi lama kelamaan terasa juga. Saya jadi minder. Apalagi baju baju trendy di mall kebanyakan dibuat nge-pas buat perempuan perempuan penderita anorexia. Dan bila saya paksakan juga, hasilnya badan saya akan terlihat seperti lontong kekurangan daun dan kebanyakan isi yang berebutan berjejalan keluar. Berat badan ini membuat saya malas bertemu teman teman lama, yang cuma taunya ketika saya masih langsing.

Akui saja, bagi banyak perempuan, kegemukan masih menjadi mimpi buruk termasuk bagi saya sendiri. Ya, maklumlah tambah umur tak bisa dipungkiri biasanya badan tambah melar, yang konon secara alami berguna untuk melindungi tulang belulang yang bertambah rentan . Sebenarnya jika alasan paling utama keresahan dan ketidak nyamanan berat badan adalah kesehatan, tak masalah. Sayangnya, kebanyakan keberatan perempuan karena masalah berat badannya, lebih disebabkan tuntutan sosial, budaya dan industri. Akibatnya rasa malu dan minder kita dimanfaatkan dengan pintar oleh industri dengan iming iming solusi mulai dari pil sekelas koplo, aneka makanan dan jus, alat pijit, sampai konsultan dan dokter...

Terima Apa Adanya
Atas bujukan maut Fitri, salah satu usaha yang saya lakukan untuk turun berat badan adalah pergi ke sebuah klinik terkenal di bilangan Jakarta Selatan, dengan harapan besar hasil cespleng akan tercapai. Pelayanan di tempat ini diberikan dalam beberapa tahap. Antriannya puanjaaaang, dan sebagian besar pasiennya adalah para perempuan gemuk dan kurus. Yang gemuk ingin kurusan. Yag kurus ingin cantikan. Saya harus menunggu di klinik yang nyaman ini selama 2 jam, sampai tiba giliran saya.

Selain obat obatan produksi dokter sendiri, saya menerima suntikan vitamin c di perut yang konon bisa melarutkan lemak yang bandel. Saya rela tubuh dibungkus dengan berlapis plastic wrapper yang biasanya buat membungkus sandwich atau ikan, bahkan dibuat lumpuh sekujur tubuh melalui tombol terhubung listrik dan kabel bercabang cabang macam gurita yang ditempelkan ke perut saya. Dan terakhir resep yang harus diikuti semasa terapi dan ditanggung cespleng adalah makan banyak sayuran, buah buahan, setakar protein ikan atau daging, dan nasi paling banyak 5 sendok sehari. Dan jangan lupa olahraga minimal 3 kali seminggu! Ampun deh! Mau saja pasien seperti saya ini dibodohi. Dengan resep terakhir itu, saya sebetulnya bisa mencapai tujuan langsing tanpa dokter dan perawatan khusus! Tak harus keluar uang pula!

Semenjak itu saya mencoba banyak cara lain untuk langsing, tapi yang paling penting nampaknya bukan kegiatannya atau apa yang dilakukan, tapi semangat dan motivasinya. Satu-satunya keberhasilan program pelangsingan yang pernah saya lakukan adalah sewaktu saya baru putus pacaran. Dengan hilang nafsu makan, dan motivasi dendam manis bahwa saya masih menarik, saya mendaftar di 3 gym yang berbeda, olahraga 3 jam sehari, 6 hari seminggu, hasilnya wah mewah! Sayangnya ini berlangsung setahun saja. Dengan berjalannya waktu, motivasi itu kendor. Apalagi ya? Sakit hati putus cinta sudah hilang. Motivasi jatuh cinta? Belum ada orangnya. Akhirnya, sedikit demi sedikit, lemak menumpuk lagi… saya mulai menerima diri apa adanya. Dan tak berharap banyak ada ksatria berpelindung baja, terlalu banyak saingan cewek cewek cantik dan langsing di luar sana hahaha.

Antitesa Pakem Kecantikan
Pakem kecantikan perempuan yang baku di banyak masyarakat selalu identik dengan badan yang langsing. Tetapi di sebuah Negara bagian barat laut Afrika, Mauritania, standar kecantikan perempuan berlaku terbalik dari standar yang kita semua amini. Filosofi kecantikan wanita disana adalah semakin gede badan seorang perempuan, semakin atraktiflah dia, semakin seksi lah dia, dan semakin besar kemungkinannya mendapatkan jodoh. Perempuan kurus dianggap penyakitan dan calon jauh jodoh.

Karena dorongan ‘jodoh sebagai pencapaian hidup tertinggi’ inilah, banyak orang di pedesaan di Mauritania masih menjalankan budaya force-feeding yang disebut gavage. Para orang tua akan memaksa anak anak gadisnya untuk makan banyak supaya mereka menjadi gemuk dan berkemungkinan besar, cepat dapat jodoh. Budaya gavage ini banyak menyebabkan anak anak gadis mengalami muntah muntah dan sakit. Akhirnya praktek budaya seperti ini dilarang oleh pemerintah, meskipun secara sembunyi sembunyi masyarakat masih saja melakukannya.

Masyarakat di perkotaan disana punya alternative solusi yang nampaknya lebih sophisticated daripada penjejalan makanan secara paksa. Mereka memilih pil gemuk dan obat napsu makan. Sayangnya mereka tak pandang bulu. Banyak dari pil napsu makan itu sebenarnya diperuntukkan buat onta, supaya mereka sehat, gemuk dan bisa digunakan dengan baik. Mungkin pikirnya, kalau pil ini bisa bekerja dengan baik dan membuat para onta itu gemuk, pasti (harap-harap cemas…) bisa juga dipakai buat orang.

Bisa ditebak, cuma produk produk penggemuk saja yang laku keras di Mauritania ini. Tapi feeling saya ini mungkin cuma akan sementara. Tunggu saja jika globalisasi kebudayaan sudah menjajah daerah ini, di dukung kepentingan bisnis dan industri kecantikan, sangat mungkin budaya dan cara pandang mengenai kecantikan akan berubah.

Perempuan Mauritania
Kabar menggembirakannya buat para perempuan di Mauritania, adalah tuntutan dan standar sebaliknya berlaku untuk laki laki. Perempuan diharapkan menjadi gemuk dan dipuja karena kegemukannya. Lelaki diharapkan menjadi kurus, karena kekurusan seorang lelaki adalah daya tarik bagi wanita disana. Para lelaki gemuk, harap minggir! Kalian tak punya tempat istimewa di Mauritania. Para lelaki menghadapi tuntutan sosial dan moral standar kegantengan yang unik. Semakin kurus seorang lelaki semakin menariklah dia, dan semakin tinggilah nilai dan kesempatan berjodoh. Seorang lelaki tegap dan tampan dari Mauritania, berbagi cerita di sebuah talk show terkenal. Dimasa remaja dan dewasanya, dia selalu selalu tinggal di Inggris. Pada saat akan pulang ke Mauritania, dia harus menurunkan berat badan, karena tuntutan sosial. Meskipun berpendidikan dan berwawasan luar yang luas dirinya tetap takluk dengan tuntutan sosial negaranya, dan dengan senang hati melakukannya.

Maka berbahagialah menjadi perempuan Mauritania, jika dia gemuk, karena selain gampang berjodoh dengan lelaki kurus, tak ada tuntutan untuk dirinya menjadi kurus. Bahkan kegemukannya merupakan aset kecantikannya. Terlebih bila perempuan gemuk itu adalah janda. Kedua formula ini gemuk dan janda menjadi daya tarik yang hebat bagi para lelaki disana. Perceraian juga merupakan hal yang perlu disyukuri disana, dan bahkan sama halnya dengan perkawinan, perceraian dirayakan dengan pesta!

Houda seorang gadis Mauritania yang diwawancara Oprah menuturkan sewaktu ditanya, secara fisik, bagian tubuh mana dari seorang perempuan yang paling menarik bagi lelaki di Mauritania? Jawabannya sungguh melegakan buat banyak perempuan…Lelaki disana menyukai stretch mark, (kerut dan tanda yang biasanya terdapat pada orang gemuk dan yang sudah melahirkan), pantat yang besar, dan pergelangan kaki yang tebal dan gemuk. Hayo perempuan gemuk dan janda Indonesia, ada yang berminat pindah kesana? Hahaha!

Epilog
Teman saya Fitri, mungkin masih mencari, merenungi Cinderella Syndrome dan berat badannya. Untuk saya sendiri, sekarang tak terlalu pusing dengan menarik atau tidaknya saya dengan berat badan segini, ataupun komentar mengenai badan saya yang bahenol. Percaya diri yang penuh, bisa membuat saya menarik kok. Dan saya percaya pada kata kata: real woman has curves! Jadi santai saja…***

Wednesday, June 09, 2010

Jakarta Sang Nomor Dua

“Jakarta is number two..” begitu Colin, teman se-klub saya di Toastmasters memulai pidatonya di klub kami malam itu. Sebagai orang Jakarta dan sebagai seorang yang suka berimajinasi ngawur, saya langsung ke-ge-er-an. Saya pikir, Colin akan bilang bahwa Jakarta adalah cintanya yang kedua setelah negaranya. Banyak teman saya yang non-Indonesia begitu sih, jatuh cinta berat dengan Jakarta. Ternyata Jakarta nomer 2 yang dimaksudnya lebih heboh. Masuk ranking secara international! Menurut sebuah lembaga riset sumber daya di New York, Jakarta dinobatkan dalam peringkat kedua di dunia sebagai kota …yang terburuk buat para ekpat untuk tinggal dan hidup. Hidup Jakarta!!

“Ya, hidup Jakarta!...” teman saya masih berujar: “Saya enggak ngerti dasar apa yang dipakai oleh lembaga ini sampai sampai Jakarta yang cool ini sejajar dengan Lagos (nomer 1), dan Riyadh, Kazakstan dan Mumbay (dari urutan ke 3 sampai ke 5). Buat saya yang pernah hidup dan tinggal di banyak kota dunia, menempatkan Jakarta sebagai kota terburuk untuk para expat untuk tinggal, menggelikan sekali.”

Colin yang pernah menetap di beberapa kota besar seperti New York, London, Sydney, Hongkong, Seoul, dan Denver, tidak sedang bicara manis. Saya yakin dia tulus, dan mengerti betul, jika statement Jakarta nomer 2 terburuk itu ridikyules. Walaupun didaulat sebagai nomer 2, yang terjelek, pasti tak ada yang bisa membantah kenyataan bahwa, Jakarta superior dalam hal-hal berikut ini:

Transportasi umum
Coba sebutkan dimana ada kota metropolitan di dunia yang punya sistim transportasi umum yang secanggih Jakarta, kebanyakan dikelola secara swadaya pula. Mau apa juga ada. Dari roda dua sampai roda banyak. Dari yang pakai otot untuk menggerakkannya sampai yang pake otak saja. Dari yang ukuran kurus seperti sepeda kumbang nya pak Omar Bakri di daerah kota sana, sampai yang bomber gedenya seperti busway. Dari yang halus bunyinya seperti beca (maklum Cuma bunyi napas berat ah..ahhh.. abang becaknya) sampai yang berisik minta ampun seperti bajaj ada! Ojek sepeda, motor, beca, busway, bis bis yang sanggup acrobat miring sana miring sini, omprengan, taxi.. tinggal pilih sesuai selera dan kocek.

Mau naik yang mewah, adem dan pelayanan prima ada silverbird dan taxi lainnya. Mau coba rasanya olahraga pilates dan bergesekan tubuh sembari merasakan bau bauan yang natural dari badan, bisa bergelantungan di bis kota yang penuh sesak. Mau lihat pertunjukan sulap gratis? ada di bis dimana copet beraksi.

Mau menikmati romantika Jakarta dengan para actor bermain live? Tinggal naik kereta api kelas ekonomi yang Cuma seribu lima ratus perak karcisnya. Di kereta itu kita bisa lihat segala rupa orang, bisa sembari shopping, belanja jepitan rambut, lem tikus, celana dalam, kalkulator, buah-buahan, buku, kondomnya handphone, gunting kuku, pensil. Seringkali dihibur pula dengan para musisi jalanan dari yang bersuara cempreng serak sember sampai grup musik yang serius menggotong bass dan sound systemnya atau bisa juga menikmati pertunjukan fashion show dari para waria yang bergerombol menaiki kereta.

Dua puluh empat jam dengan transportasi public yang gampang dicari, kita bisa pergi dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Bayangkan bahkan tinggal di kota kota besar seperti New York pun tidak ada kemudahan dan kemurahan transport yang setara dengan Jakarta…

Cuaca yang konsisten dan menyenangkan
Ok. Saya tidak sedang bicara tentang udara ya, ini beda. Udara sih, memang tercemar, seperti banyak kota metropolitan di Asia. Tapi perkara cuaca, dibandingkan banyak kota besar lainnya, Jakarta sangat friendly. Bepergian setiap saat di segala cuaca sangat memungkinkan. Bisa ketebak, kalau tak hujan ya panas. Hujannya pun keseringan hujan romantis, jarang yang disertai angin kencang, tidak super dingin dan terus menerus seperti di London atau Vancouver.

Banyak orang dari Asia yang baru baru tinggal di negara empat musim mengalami syndrome musim dingin, yang bawaannya gloomy melulu karena jarang lihat matahari. Apalagi kalau tinggal di tempat dimana musim dinginnya langganan berat salju. Masak mesti hibernate selama musim dingin, enggak kemana mana? Teman saya Colin ini cerita, sewaktu di Denver, keseringannya dia merasa bosan dirumah, tapi mau bepergian juga susah, hiburan luar kurang. Tapi untuk doing nothing itu enggak enak juga. Jadilah dia bisa bolak balik ke gym sehari tiga kali, kayak minum obat cacing.

Dengan cuaca seperti Jakarta, kita enggak perlu pusing sama urusan fashion seperti di negara 4 musim, tiap 3 bulan mesti ganti model. Bagi para perempuan yang mau berpakaian seksi di tempat umum, enggak harus setahun sekali tunggu musim panas. Pokoke Jakarta pancen oye!

Hub yang Strategis
Mau lihat pantai pelabuhan yang masih bergaya tempo dulu? Kurang dari dua jam sudah dapat Sunda Kelapa. Mau pantai pantai lain yang bisa di jangkau dalam waktu dua tiga jam berikut paket resortnya? Ada marina Ancol, kepulauan seribu, Anyer, dan banyak lagi.

Mau lihat gunung? Ah gampang, pergi aja ke gedung pencakar langit dengan kaca menghadap Bogor. Walaupun dengan susah payah, pasti kelihatan juga. Tapi kalau mau pergi ke gunungnya pun, bisa ke arah puncak, ke arah Bandung, kea rah Banten. Pilih pilih aja sendiri deh. Pendeknya, enaknya hidup di Jakarta itu ya bisa ke luar kota dengan gampang dan dekat jaraknya.

Toleransi Agama dan Budaya
Mungkin banyak pembaca yang gak setuju sama saya , tapi yang saya ungkapkan ini pandangan dari beberapa teman non-Indonesia termasuk Colin ini. Kalo yang ini sih memang khasnya Indonesia. Mau beragama apa aja, silakan, asal jangan mengganggu orang. Hari libur keagamaan menjadi libur nasional yang bisa dinikmati oleh penggembira beragama apa saja. Kebanyakan penduduk Indonesia, dan Jakarta tentunya punya tingkat toleransi yang jauh lebih tinggi daripada bahkan dibandingkan penduduk Negara adidaya yang menurut pendapat mereka sendiri lebih sulit mentoleransi agama, ras dan budaya yang berbeda. Contoh kecil saja, komunitas waria, di Jakarta, diterima apa adanya oleh masyarakat, sementara nun jauh disana di kota kota yang sudah jauh lebih maju, masih saja terdengar berita mereka di-bully karena menjadi diri mereka sendiri.

Swalayan Dunia Hiburan
Mau hiburan receh seperti pengamen dipinggir jalan sampai hiburan kelas tinggi yang butuh kocek ratusan ribu atau jutaan rupiah, sambil merem (melek) bisa dinikmati. Mau belanja? Dari tali beha sampai sekrup pesawat ada. Dari pasar becek dan bau sampai mall mewah yang suka bikin kita minder kalau lihat harga harganya, ada. Tempat tempat itu buka sampai jauh malam. Bahkan dunia dugem ada yang buka sampai subuh!

Mau nonton? Bioskop dari yang paket tambahan gratis binatang bangsat di kursinya, sampai yang bisa sembari tiduran dilengkapi pelayanan butler, Cuma Jakarta yang punya. Teman saya yang berasal dari Jerman sampai ternganga sewaktu saya ajak ke bioskop mewah Jakarta. Saya juga ternganga sewaktu nonton di salah satu bioskop di downtown Vancouver. Lho kok, kursinya kecil banget sih, dibanding kursi normal bioskop Jakarta.

Enggak punya duit tapi pingin nonton? Gampang! Pergi aja ke Mall Ambassador, atau Ratu Plaza atau Glodok. Dengan minimal uang 7-ribu sudah bisa dapat satu filem bajakan, dari filem horror sampai porno, komplit! Bule-bule saja sering keluyuran cari filem disana!

Hiburan lain? Wah pasti kolom ini tak muat membahas banyaknya jenis hiburan di Jakarta. Bagi saya, tak ada yang bisa mengalahkan dinamika Jakarta sebagai kota metropolitan. Jakarta kota segala ada. Hidup Jakarta! *** (Artikel juga ada di: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/367/jakarta_sang_nomor_dua_

Ayo Lihat Diri Kita di Pesta

Ratusan orang yang berkumpul di ruang besar dan megah itu serentak menyerbu ke beberapa arah strategis dan berdesak desakan disana. Persis seperti besi besi yang berlarian mendekati magnet. Dan bagi ratusan orang itu, termasuk saya, magnet itu adalah buffet makanan lezat yang disediakan sang empunya hajat. Saya mencoba antri dengan tertib, tetapi rusaknya rantai antrian menyebabkan orang ‘menyerang’ meja hidangan dari segala arah. Saya merasa seperti ditengah singa singa kelaparan sedang mengeroyok makanan buruannya yang tak berdaya. Kami tidak pernah sampai di meja hidangan. Dan akhirnya menyerah. Setelah salam dan pamit dengan sang pengantin, saya pulang segera, tanpa kesempatan menikmati hidangan yang setelah beberapa saat bentuk rupa nya sudah hancur tak karuan membuat selera menguap.

Sebagai peminat etika publik, saya sering mengamati perilaku para undangan pesta pernikahan atau perayaan lainnya yang biasanya digelar di gedung pertemuan seperti ini, dan ceritanya selalu sama. Ada apa sih dengan kita? Tulisan pendek ini mencoba menggugah kesadaran kita akan pentingnya memperhatikan hal hal sederhana yang berkaitan dengan etika kita di acara pesta.

Kelaparan?
Barangkali ya, berhubung biasanya siapkan perut sekosong mungkin sebelum pergi ke pesta, kita berlapar lapar dahulu, berkenyang kenyang kemudian. Nah kalau pesta dan prosesi nya memakan waktu lama, bukankah perut tambah lapar? Sebab itu antrian berdesakan, dorong dorongan, nyerobot antrian, berebutan sudah menjadi hal lumrah di acara begini. Biarpun antrian nya adalah bakso dan sop yang jika kesenggol dikit, wah selamat deh, bisa terguyur kuah panas…siapa peduli? Sudah elu elu gue gue kalau begini. Lha, beda beda tipis deh sama antrian beras miskin …
Tapi coba pikir lagi deh, siapa tahu kita malu diri sedikit. Biasanya kan yang di undang pesta seperti ini bukan lah orang orang berkeadaan khusus yang makan enak mungkin cuma setahun sekali di hari raya, atau yang hidup segan mati tak mau. Iya kan? Pantas dong, kalau kita beradab sedikit, dan mengantri dengan tertib? Malu juga deh dengan baju keren yang kita kenakan kalau tidak menunjukkan kelas sejati kita. Jika antrian kacau dan makanan sudah jadi rebutan, tinggalkan saja antrian itu. Alih alih makan enak, kita bisa nyengir sakit hati ketumpahan kuah yang bikin baju mesti di laundry. Atau sudah capek capek ngantri, ternyata tak kebagian. Sudahlah relakan saja amplop dengan beberapa lembar rupiah merah itu. Tidak usah pikir pikir enggak balik modal karena tidak kebagian makanan hahaha.

Nanti Enggak Kebagian
“Ayo cepetan! Nanti gak kebagian…” begitu biasanya yang sering kita dengar di kanan kiri disela sela suara gending dan merdunya suara Master/Mistress of Ceremony. Karena pola pikir ‘nanti enggak kebagian’ ini lah maka kita lebih rela berebut and nyerobot antrian daripada bersikap anggun dan menanti giliran. Yang begini ini tidak hanya terjadi di antrian pesta, tapi bahkan di antrian pembelian barang berdiskon khusus.

Dalam hal pesta dan meja hidangan, ada biang kerok lain, kenapa akhirnya para tamu lain sampai tidak kebagian makanan yang oleh sang empunya hajat biasanya sudah diperhitungkan dan dilebihkan jumlahnya. Biang kerok itu adalah diri kita sendiri. Mata dan keinginan kita lebih besar dari pada perut kita. Menyendok makanan sebanyak yang kita bisa. Jadilah, piring yang menjulang dengan makanan yang porsinya lebih banyak dari kemampuan perut kita menampung. Tanpa rasa malu dan bersalah kita meninggalkan sisanya menumpuk di piring. Kenapa sih tidak menyendok makanan secukupnya saja, jika perlu, karena belum tau apakah kita akan menyukainya atau tidak, ambillah hidangan sedikit sedikit saja. Jika ingin lagi, bisa nambah toh? ‘Ah nanti keburu habis’. ‘Ah nanti antrinya lama lagi…’ kita berkilah.

Jadi, lebih baikkah meninggalkan makanan tersisa di piring? Ini sama saja kita tak menghargai tuan rumah, dan tamu lainnya. Karena kita secara tidak langsung dan tidak perlu, mengambil hak yang seharusnya menjadi hak orang lain. Bukankah ini sabotase terhadap pesta tuan rumah, dan membuatnya gagal, dengan menjadikan makanan yang seharusnya cukup untuk semua orang, menjadi kurang? Bagaimana jika hal ini terjadi pada pesta kita? Sukakah kita bila makanan yang kita sediakan dibuang seenaknya atas nama nafsu mata dan takut tak kebagian? Maukah kita membuang buang makanan yang milik kita sendiri, dari hasil usaha yang dilakukan dengan susah payah?

Piring Kotor dan Kita
Pernahkah Anda tinggal di sebuah pesta pernikahan di gedung dan catering sewa-an, sampai para undangan selesai makan? Anda akan lihat piring dan gelas kotor, sampah makanan centang perenang di segala tempat, air minum dan makanan tumpah berserakan di lantai. Kursi kursi yang penuh dengan piring kotor. Persis seperti batalion Romawi yang baru saja diserang bangsa Galia di cerita komik Asterix. Sementara petugas kebersihan katering dengan sia sia mencoba mengatasi keadaan.

Kitalah yang menyebabkan situasi itu. Makan disitu ya, kita letakkan piring kotor dan sisa makanan disitu. Tak boleh lihat ruang menganggur di meja hidangan, disanalah kita akan letakkan piring bekas makan kita. Banyak dari kita masih berpikiran primitif bahwa membawa bawa gelas dan piring sisa makan, dan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan merupakan sesuatu yang memalukan. Buat apa ada petugas, jika kita harus melakukannya sendiri? Lupalah kita, jika piring dan gelas bergelimpangan sembarangan membuat suasana pesta tidak menyenangkan dan bisa menyebabkan kecelakaan kecil pada orang lain. Sudikah kita jika pesta yang kacau seperti ini terjadi pada diri kita sendiri?

Tanggung Jawab Sosial
Saya penasaran sekali apakah perilaku seperti ini sebenarnya ini memang naluri semua orang tanpa pandang bulu bangsa? Ataukah ini lebih kepada kecenderungan budaya dan kebiasaan kita, bangsa Indonesia atau lebih sempit lagi, orang Jakarta, karena kegiatan yang saya amati kebanyakan berlangsung di Jakarta? Saya belum bisa menjawab dengan pasti. Pada beberapa pesta bertempat di luar Indonesia, saya amati antrian selalu berlangsung dengan tertib, piring makan sendiri kebanyakan tandas, dan tidak ada suasana seperti kapal pecah. Malahan ada sistim pesta yang mendahulukan anak-anak dan wanita untuk pergi mengambil makanan di meja hidangan, sebelum para hadirin lain. Cara ini menjamin pesta yang nyaman, aman dan bisa dinikmati semua orang. Syaratnya, semua orang percaya pada tanggung jawab sosial.

Menjadi mahluk sosial yang bertanggung jawab sosial tinggi sebetulnya tidak sulit, jika kita terbiasa menggunakan self-check. Tanya diri sendiri, relakah kita jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab terhadap kita? Maukah kita menanggung akibat perbuatan tak bertanggung jawab tersebut? Tidak kan? Jika jawaban kita normal, maka selayaknya kita tunjukkan jati diri sebagai seorang berkelas dengan memperhatikan kepentingan umum selain kepentingan sendiri.

Selamat berpesta, kali ini, antri yang tertib, makan secukupnya, dan nikmati kepuasan batin menjadi seseorang yang sensitive dan toleran terhadap orang lain. Percayalah, kita sendiri yang akan memetik buah hikmahnya.

(artikel sama ada di http://kolomkita.detik.com/new.php/baca/artikel/26/767/index.php/welcome)

***