Di dunia yang sudah gila ini, ada orang yang setengah mati kerja, kepala di pantat, pantat di kepala, tapi uang tetap susah masuk ke periuk. Ada yang senang-senang, uang mengalir seperti air terjun. Contohnya, cowok ganteng yang model ini baru saja menjual sperma nya dalam suatu lelang, dan laku 18 ribu dollar.
Dia punya pesan untuk siapa saja yang mau mendengar: ‘butuh sperma? Saya menjualnya! Ditanggung anak Anda jadi ganteng seperti saya!’.
Peduli amat dengan yang tidak kelihatan, ai kyu, penyakit syaraf, bloon, nggak masalah yang penting ganteng. Sepertinya orang yang ganteng atau cakep adalah segala-galanya.
Sayangnya aku lupa mengingat alamat website penjual sperma ini. Siapa tahu temanku ada yang berminat membeli?
Wednesday, April 07, 2004
Sunday, April 04, 2004
Shopping Mall Society
(30/10/02)
Some friends from Jakarta just visited Vancouver for their NGO tour in Canada. I was ready to take them to Vancouver Public Library, Science World, and Stanley Park. When asked what place they would like to see, their answer had surprised me. They wanted to see shopping mall! I couldn’t help thinking that Jakartans are becoming more and more into shopping mall society.
For most of Indonesian, western countries almost always identical with luxury, modernity, beautiful, rich, and smart people. Look at them on TV! So it surprised them that Vancouver didn’t have those shopping malls as big as the ones in Jakarta.
On the other hand, many people in western country may think that the third world is identical with poverty, lack of education, and chaos. One illustration was when a new friend I met here was surprised to see a picture of me with a beautiful swimming pool as a background. She said honestly that she pictured Jakarta as a slum place where beauty doesn’t exist. Little she knows that Jakarta is a place where its 12 million population live in wide range of life from the bottom of hell to the top of seven heaven.
When I went back home the last time in June, I could hardly see the scar from few years back of economy crisis. The big shopping malls and traditional market were full with people, and still growing. Salon and beauty parlors were busy. Glodok electronic center, one of the biggest electronic center in South East Asia were hustling and bustling as usual, though in 1998 it was one of the place burnt out by fire and loot.
These are such phenomena. With the hardship of economy crisis, we are looking to have fun, to forget about what have happened. Those places offer such entertaining, and fun atmosphere. It is the place for us to see what we can’t afford but still can dream about.
Some friends from Jakarta just visited Vancouver for their NGO tour in Canada. I was ready to take them to Vancouver Public Library, Science World, and Stanley Park. When asked what place they would like to see, their answer had surprised me. They wanted to see shopping mall! I couldn’t help thinking that Jakartans are becoming more and more into shopping mall society.
For most of Indonesian, western countries almost always identical with luxury, modernity, beautiful, rich, and smart people. Look at them on TV! So it surprised them that Vancouver didn’t have those shopping malls as big as the ones in Jakarta.
On the other hand, many people in western country may think that the third world is identical with poverty, lack of education, and chaos. One illustration was when a new friend I met here was surprised to see a picture of me with a beautiful swimming pool as a background. She said honestly that she pictured Jakarta as a slum place where beauty doesn’t exist. Little she knows that Jakarta is a place where its 12 million population live in wide range of life from the bottom of hell to the top of seven heaven.
When I went back home the last time in June, I could hardly see the scar from few years back of economy crisis. The big shopping malls and traditional market were full with people, and still growing. Salon and beauty parlors were busy. Glodok electronic center, one of the biggest electronic center in South East Asia were hustling and bustling as usual, though in 1998 it was one of the place burnt out by fire and loot.
These are such phenomena. With the hardship of economy crisis, we are looking to have fun, to forget about what have happened. Those places offer such entertaining, and fun atmosphere. It is the place for us to see what we can’t afford but still can dream about.
Friday, April 02, 2004
Indonesia vs China
Salutku untuk orang China. Mereka ulet dan pekerja keras, dan perantau yang sukses. Dimana dimuka bumi ini yang tidak ada orang Chinanya? Walaupun mereka terserak dimana-mana, tradisi dan ke-china-an mereka tetap dijaga. Banyak teritori negara yang menjadi kampung China. Mana ada kampung Indonesia di negeri orang?
Lihat saja segala produk dari berbagai industri, kebanyakan buatan China atau saudara sekandungnya Taiwan. Kegiatan industri ini tentu saja sangat membantu kelangsungan hidup dan kegiatan ekonomi di China.
Aku berangan-angan, kapan ya Indonesia bisa begitu? Tenaga kerja di negara kita banyak, kemapuan cukup. Mungkin yang kurang adalah etika berbisnis ya? Penyakit aji mumpung, mau untung besar seketika, curang, dan kurangnya orientasi pasar masih jadi kendala.
Sejauh ini aku baru menemukan tiga produk buatan Indonesia, di Vancouver: backpack Eddie Bauer yang kubeli (produk Bandung); boneka teddy bear, dan buku cerita anak berbahasa Inggris yang per halamannya tebal.
Kubandingkan buku itu dengan produk yang sama, dengan harga sama tapi buatan China, mutu buku buatan kita kalah jauh dengan China. Aku menduga, pengusaha Canada yang mengimport buku itu pasti kapok!
(summer, 02)
Lihat saja segala produk dari berbagai industri, kebanyakan buatan China atau saudara sekandungnya Taiwan. Kegiatan industri ini tentu saja sangat membantu kelangsungan hidup dan kegiatan ekonomi di China.
Aku berangan-angan, kapan ya Indonesia bisa begitu? Tenaga kerja di negara kita banyak, kemapuan cukup. Mungkin yang kurang adalah etika berbisnis ya? Penyakit aji mumpung, mau untung besar seketika, curang, dan kurangnya orientasi pasar masih jadi kendala.
Sejauh ini aku baru menemukan tiga produk buatan Indonesia, di Vancouver: backpack Eddie Bauer yang kubeli (produk Bandung); boneka teddy bear, dan buku cerita anak berbahasa Inggris yang per halamannya tebal.
Kubandingkan buku itu dengan produk yang sama, dengan harga sama tapi buatan China, mutu buku buatan kita kalah jauh dengan China. Aku menduga, pengusaha Canada yang mengimport buku itu pasti kapok!
(summer, 02)
Kang Mandor
Sebagai pelahap music yang menurut sebagian teman Indonesiaku adalah ‘music aneh – tak biasa’, Vancouver adalah tempat ideal untuk berburu CD. Virgin Record di downtown adalah tempat favouritku menghabiskan waktu, selain Chapter bookstore. Disitulah biasanya aku mendapatkan koleksi world music Putumayo production.
Suatu hari, aku terkejut mendapati World Music Sample CD yang kubeli memperdengarkan music Banyumasan, yang riuh rendah seperti musik reog.
Bukan itu saja, Idjah Khadidjah dengan lagunya ‘Tonggeret’ termasuk satu dari sekian wanita pemusik/penyanyi terkenal dunia yang terpilih dalam CD World Diva collection. Aku penasaran, seperti apa sih lagu si Idjah yang masuk dalam CD ini. Sayang CD itu terlalu mahal. $65 senilai hampir Rp 400 ribu, wah terimakasih. Kutunggu saja sepulang ke Indonesia, akan kucari lagu ‘Tonggeret’ di toko musik.
Ada lagi CD dari Putumayo yang kubeli, judulnya Music from the Tea Lands, termasuk di dalamnya dua orang pemusik yang tidak populer di Indonesia: Hila Hambala dan Ujang Suryana. Siapa pernah dengar? Aku saja baru kali ini tahu ada pemusik Indonesia dengan nama itu. Ah itu biasa, di Indonesia kita belum terlalu appresiatif dengan musik bermutu. Biar suara sember kalau cakep, bisa nge-top.
Hila adalah pemusik dari Lampung, dan Ujang sudah pasti dari Jawa Barat. Lagu Hila judulnya: “Anggopanku” (bahasa Lampung) – yang artinya “perasaanku”. Sedangkan musik nya Kang Ujang yang tuna netra ini judulnya Kang Mandor.
Mendengarkan kedua musik ini, “Anggopanku” dan “Kang Mandor”, membuat bulu kudukku merinding, merindukan sawah, pegunungan, berpacaran malam minggu di bawah pohon nangka dan bulan purnama, apalagi ditemani bunyi jangkrik. Ini obatku kalau kangen Indonesia. Oh Kang Mandor…Kang Mandor…
Suatu hari, aku terkejut mendapati World Music Sample CD yang kubeli memperdengarkan music Banyumasan, yang riuh rendah seperti musik reog.
Bukan itu saja, Idjah Khadidjah dengan lagunya ‘Tonggeret’ termasuk satu dari sekian wanita pemusik/penyanyi terkenal dunia yang terpilih dalam CD World Diva collection. Aku penasaran, seperti apa sih lagu si Idjah yang masuk dalam CD ini. Sayang CD itu terlalu mahal. $65 senilai hampir Rp 400 ribu, wah terimakasih. Kutunggu saja sepulang ke Indonesia, akan kucari lagu ‘Tonggeret’ di toko musik.
Ada lagi CD dari Putumayo yang kubeli, judulnya Music from the Tea Lands, termasuk di dalamnya dua orang pemusik yang tidak populer di Indonesia: Hila Hambala dan Ujang Suryana. Siapa pernah dengar? Aku saja baru kali ini tahu ada pemusik Indonesia dengan nama itu. Ah itu biasa, di Indonesia kita belum terlalu appresiatif dengan musik bermutu. Biar suara sember kalau cakep, bisa nge-top.
Hila adalah pemusik dari Lampung, dan Ujang sudah pasti dari Jawa Barat. Lagu Hila judulnya: “Anggopanku” (bahasa Lampung) – yang artinya “perasaanku”. Sedangkan musik nya Kang Ujang yang tuna netra ini judulnya Kang Mandor.
Mendengarkan kedua musik ini, “Anggopanku” dan “Kang Mandor”, membuat bulu kudukku merinding, merindukan sawah, pegunungan, berpacaran malam minggu di bawah pohon nangka dan bulan purnama, apalagi ditemani bunyi jangkrik. Ini obatku kalau kangen Indonesia. Oh Kang Mandor…Kang Mandor…
Sunday Sssex Show
Salah satu acara yang menarik di TV adalah Sunday Sex Show. Hush! Jangan pikir kotor dulu dong! Yang namanya edukasi seks disini sangatlah glamblang, tapi tidak berkesan erotis dan jorok. Biasa saja, sama biasanya dengan membicarakan cuaca.
Sang pembawa acara duduk di depan meja, bicara mengenai seks, hubungannya dengan kenikmatan, moral dan kesehatan, menjawab pertanyaan dari pemirsa yang menelepon. Kadang dilengkapi dengan demo lewat dua boneka manusia kayu kecil warna merah dan biru, atau dildo – ‘anu’ buatan dari plastik, kondom berbagai bentuk, warna dan rasa, dan lainnya.
Diakhir acara biasanya memberikan ulasan buku, dan memamerkan pleasure chest – kotak kenikmatan – yang isinya adalah media atau pernak pernik untuk membantu menemukan atau meningkatkan kenikmatan seks.
Kalau di Indonesia ada acara yang begini, pasti pembawa acaranya harus ganteng dan cantik, muda dan menarik. Namanya juga sseeeexxx. Yang ini lain. Pembawa acaranya adalah nenek Sue Paterson, profesi: sex educator. Umur: sekira 60-an tahun. Nah bagaimana mau terangsang?!
Sang pembawa acara duduk di depan meja, bicara mengenai seks, hubungannya dengan kenikmatan, moral dan kesehatan, menjawab pertanyaan dari pemirsa yang menelepon. Kadang dilengkapi dengan demo lewat dua boneka manusia kayu kecil warna merah dan biru, atau dildo – ‘anu’ buatan dari plastik, kondom berbagai bentuk, warna dan rasa, dan lainnya.
Diakhir acara biasanya memberikan ulasan buku, dan memamerkan pleasure chest – kotak kenikmatan – yang isinya adalah media atau pernak pernik untuk membantu menemukan atau meningkatkan kenikmatan seks.
Kalau di Indonesia ada acara yang begini, pasti pembawa acaranya harus ganteng dan cantik, muda dan menarik. Namanya juga sseeeexxx. Yang ini lain. Pembawa acaranya adalah nenek Sue Paterson, profesi: sex educator. Umur: sekira 60-an tahun. Nah bagaimana mau terangsang?!
Appointment, Please
(Dec, 2000)
Tidak perlu jadi businessmen di Vancouver sini untuk menerapkan kebiasaan appointment untuk ketemu, bahkan dengan teman. Di Jakarta, kastemer adalah raja, kalau dia datang membawa bisnis dan uang, selalu diterima dengan senang hati, meskipun tanpa appointment. Lain halnya di Vancouver.
Buka account di Bank meskipun cuma beberapa dollar, bikin janji dulu, untuk bertemu dengan account representative. Potong rambut di salon, bikin janji dulu, meskipun sang beautician tidak sibuk, dan sedang ongkang-ongkang kaki asyik membaca majalah. Apalagi urusan dokter, dan yang penting lainnya. Mau ke rumah orang tua, mertua, teman, pacar, saja mesti telpon dulu, janji untuk datang jam sekian.
Saking disiplinnya dengan waktu, telat sedikit, bikin janji lagi dong! aku pernah bikin janji dengan salah satu salon, untuk waxing, cabut bulu –maaf- ketek. Ada hadiah voucher salon dengan nomina tertentu, yang lebih cocok untuk urusan bulu ketek itu. Yah hitung-hitung eksperimen.
Aku terlambat sekitar 10 menit karena urusan popok Rayhan. Sesampai disana, reception bilang, oh maaf Anda terlambat, bikin janji lagi ya, 3 jam dari sekarang. Apa?! Ah lupakan saja. Masak untuk cabut bulu ketek aja harus tunggu 3 jam, kebangetan. Mendingan kucabut saja sendiri, lima menit selesai!~
Tidak perlu jadi businessmen di Vancouver sini untuk menerapkan kebiasaan appointment untuk ketemu, bahkan dengan teman. Di Jakarta, kastemer adalah raja, kalau dia datang membawa bisnis dan uang, selalu diterima dengan senang hati, meskipun tanpa appointment. Lain halnya di Vancouver.
Buka account di Bank meskipun cuma beberapa dollar, bikin janji dulu, untuk bertemu dengan account representative. Potong rambut di salon, bikin janji dulu, meskipun sang beautician tidak sibuk, dan sedang ongkang-ongkang kaki asyik membaca majalah. Apalagi urusan dokter, dan yang penting lainnya. Mau ke rumah orang tua, mertua, teman, pacar, saja mesti telpon dulu, janji untuk datang jam sekian.
Saking disiplinnya dengan waktu, telat sedikit, bikin janji lagi dong! aku pernah bikin janji dengan salah satu salon, untuk waxing, cabut bulu –maaf- ketek. Ada hadiah voucher salon dengan nomina tertentu, yang lebih cocok untuk urusan bulu ketek itu. Yah hitung-hitung eksperimen.
Aku terlambat sekitar 10 menit karena urusan popok Rayhan. Sesampai disana, reception bilang, oh maaf Anda terlambat, bikin janji lagi ya, 3 jam dari sekarang. Apa?! Ah lupakan saja. Masak untuk cabut bulu ketek aja harus tunggu 3 jam, kebangetan. Mendingan kucabut saja sendiri, lima menit selesai!~
Bangga Profesi
Soal kebanggaan akan profesi, dunia barat, nggak ada tandingannya. Selumrah apapun seseorang punya profesi, mereka selalu bangga menyebutkannya, bila ditanya orang. Hal itu menunjukkan mereka mencintai pekerjaannya dan bekerja dengan sungguh-sungguh dan bangga. ‘I am a professional dog walker’, I am a proud farmer’, kalo orang kita dengan profesi itu, pasti akan bilang, ‘ah saya mah kerjanya cuma ngajak jalan-jalan anjing aja’ atau ‘kerja saya cuma bertani’. Apakah ini refleksi karakter bangsa yang konon rendah hati, atau… rendah diri?
Air Oh Air
Air dan garam lebih berharga daripada emas berlian. Bahkan lebih mahal daripada harga bensin. Coba saja, beli aqua botol kemasan seliter harganya sekitar Rp 2000. Bensin dengan volume sama Rp 2000.
Di Canada ini, air kemasan kurang laku, kecuali mungkin di restoran besar hotel-hotel berbintang. Urusan air yang ditangani dengan baik menghasilkan banyak kemudahan. Mau minum, tinggal buka kran. Kran-kran ini juga terserak dimana-mana, di taman, di pinggir jalan yang sibuk, tinggal buka mulut bagi yang kehausan.
Beberapa waktu lalu ada wabah bakteri e-coli di salah satu bagian Canada. Lima orang meninggal, dan banyak yang masuk rumah sakit. Canada geger. Orang ketakutan untuk minum dari kran. Bahkan untuk mandi dari air kran saja, mereka enggan. Memasak air yang tidak pernah menjadi tradisi bagi mereka, terasa sebagai beban dan keluhan.
Resistansi mereka terhadap wabah sangat rendah. Bandingkan saja dengan Indonesia. Resistansi orang kita sangat tinggi terhadap banyak penyakit dan kuman. Apalagi wabah, sekarang ini jadi makanan kita sehari hari. Dari wabah banjir, bencana alam, korupsi, aji mumpung, gossip, sampai wabah penyakit.
Jadi, jangan khawatir, orang kita lebih superior kok daripada orang Barat.
(winter, 02)
Di Canada ini, air kemasan kurang laku, kecuali mungkin di restoran besar hotel-hotel berbintang. Urusan air yang ditangani dengan baik menghasilkan banyak kemudahan. Mau minum, tinggal buka kran. Kran-kran ini juga terserak dimana-mana, di taman, di pinggir jalan yang sibuk, tinggal buka mulut bagi yang kehausan.
Beberapa waktu lalu ada wabah bakteri e-coli di salah satu bagian Canada. Lima orang meninggal, dan banyak yang masuk rumah sakit. Canada geger. Orang ketakutan untuk minum dari kran. Bahkan untuk mandi dari air kran saja, mereka enggan. Memasak air yang tidak pernah menjadi tradisi bagi mereka, terasa sebagai beban dan keluhan.
Resistansi mereka terhadap wabah sangat rendah. Bandingkan saja dengan Indonesia. Resistansi orang kita sangat tinggi terhadap banyak penyakit dan kuman. Apalagi wabah, sekarang ini jadi makanan kita sehari hari. Dari wabah banjir, bencana alam, korupsi, aji mumpung, gossip, sampai wabah penyakit.
Jadi, jangan khawatir, orang kita lebih superior kok daripada orang Barat.
(winter, 02)
Subscribe to:
Posts (Atom)