Wednesday, July 31, 2013

Centil dan the Secret Law of Attraction


Mintalah maka kau akan mendapatkan.  Dahsyat sekali pernyataan ‘the Law of Attraction” itu.  Aku baru saja membuktikannya lagi lewat Si Item Centil kucing campuranku bermata jelita kuning lentera yang terlihat hidup dan bersinar diatas wajahnya yang hitam jelaga. 

Sudah seminggu ini Centil mengidap rindu dendam terhadap kucing jantan.  Alam memberikannya rasa birahi yang dipuaskannya lewat lolongan lolongan kerinduan memanggil jantan mana saja yang diharapkannya lewat di depan rumahku.  Cuma satu ini lagi saja sisa kucingku.  Centil masih remaja.  Seingatku ini pertama kalinya dia mengidap birahi seperti ini.  Berisiknya bukan main.  Siang malam dia menangis melolong memanggil penuh kerinduan… Karena tinggalnya di teras samping rumah yang berpagar tinggi dan tertutup dari dunia luar, dan akses hanya lewat dalam rumah, dan pintu pagar kandangnya itu,  sungguh impiannya untuk mendapatkan jantan dan memenuhi tuntutan alam birahinya hampir mustahil.  Aku tak punya kucing jantan, dan tak akan membiarkan Centil di halaman atau keluar, khawatir dia akan kabur atau dicuri orang. 

Pagi itu, aku hampir pasti bahwa Centil sudah mulai sinting.  Sambil mengepel teras, kulihat dari balik pagar pintu samping yang transparan, dia sedang tekun memandang tembok samping dengan konsentrasi yang cukup tinggi.  Kupanggil dia.  Biasanya menyahut dengan berlari menghampiriku.  Kuulang beberapa kali.  Dia bergeming.  Tetap memandang dinding dengan nanar, tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.  Aku yakin, dan kasihan pada Centil.  Dia bener bener sudah sinting.

Sejurus kemudian, iseng aku buka jendela samping rumah untuk menyapa Centil.  Surprise!  Tak dinyana, dipojok sana dia sedang terkesima, saling memandang dengan seekor kucing jantan ganteng yang entah darimana datangnya, seolah dijatuhkan dari langit!  Aku terheran, semua pintu depan dan belakang tertutup terkunci.  Lewat mana ya?  Si kucing jantan ganteng berbulu kuning ini?  Rupanya ada sebuah celah kecil dekat atap yang tingginya dua meter lebih, dimana dia meloloskan diri dan masuk ke teras samping rumah yang tertutup ini…


Kubiarkan mereka berdua masih saling pandang, berharap Centil mendapatkan apa yang diinginkannya.  Lolongan tangis kerinduannya bermalam malam terbayar sudah.  Panggilan Centil yang tak kenal putus asa, didengar si Jantan itu. Teras samping mendadak sepi.  Mungkin mereka sedang saling berbisik, menata perasaan sebelum tugas besar menunaikan panggilan alam hewani mereka.  The law of attraction sedang membantu Centil mendapatkan cowok jantan idamannya, dan memuaskan dahaga  kehewanannya…

Yang kutau, aku belajar dari peristiwa si Centil ini.  Jika kita menginginkan sesuatu, bukan hal yang mustahil untuk terjadi, seberapapun kelihatannya mustahil.  Mungkin kita harus lebih berusaha, dan yakin bahwa apa yang kita inginkan akan kita dapatkan.  


Kisah Centil menginspirasiku bahwa apapun yang kita inginkan, seberapapun kelihatannya mustahil, bagi alam semesta, tidak ada yang mustahil.  Tuhan mendengar doa dan impian, sekalipun datangnya dari Centil, seekor kucing remaja hitam jelaga bermata kuning lentera.**

Friday, August 24, 2012

Refleksi Ramadhan: Cape Deh!

Tau satu bait lagu yang pernah ngetop bertahun lalu:  ’too much love will kill you…’ di refleksi bulan puasa yang baru lewat ini saya akan ganti jadi “too much of everything will kill you… “ Kebanyakan segala sesuatu nya bisa bikin ko-it!  Berfikir balik ramadhan tahun ini kok kayaknya tambah berat saja.  Bukan berat puasanya, tapi berat gandulannya.  Seperti orang yang berjalan terseret seret karena ada beban berat yang menggandulinya.  Begitulah yang saya rasa. 
 
Beban berat gandulan apa aja?
 
Gandulan pertama: Komersialisasi Ramadhan

 Coba inget inget deh, bulan puasa sebulan lalu.  Mulai aja belum, segala macam harga udah naik, atau udah rencana mau naik.  Iklan ucapan selamat Ramadhan, bulan suci, dan lainnya bertebaran dimana-mana, dari spanduk para caleg yang sebenernya sedang mengiklankan diri, sampai iklan produk yang seolah olah sedang mengucapkan selamat beribadah puasa, tapi sebenernya menjual produk mereka.  Mirip serigala berbulu domba. 

 Bukan cuma itu, lihat saja diri kita, puasa sih puasa, tapi ajakan untuk berkonsumerisme tinggi, juga  kita terima dengan semangat sekali.  Berkedok lebaran sale, bonus lebaran, hadiah bulan puasa, dan sejenisnya, kita diajak berlomba lomba belanja, mengkonsumsi lebih banyak lagi, enggak penting perlu atau tidaknya barang tersebut.  Berani nolak?  Ah pelit amat.  Kan ada bonus lebaran dari tempat kerja?

 
Puasanya aja baru di mulai, orang sudah banyak berpikir menjahit baju, pergi ke butik, kumpulin kue kue buat lebaran, mendandani rumah biar tak malu maluin kalau orang dating bertamu.  Mukena baru, alqur’an baru, sajadah baru, kerudung dan baju mesti baru, sandalnya juga dong.  tapi ayo kita Tanya diri kita, apakah jiwa dan semangat Ramadhan kita baru juga?  Lha, terus puasanya gimana? Capek deh!

 Gandulan kedua: Amplop/Hadiah Lebaran

Memangnya tujuan puasa itu apa sih?  Menurut saya sih buat mensucikan diri lahir dan batin, dan meningkatkan kadar solidaritas sosial terhadap sesama, terutama berbagi untuk yang berkekurangan.  Tapi lihat deh, banyak dari kita yang kadar solidaritasnya salah kaprah.  Contohnya amplop/parcel/hadiah lebaran.

 
Bagi yang merasakan ibadah bulan puasa, memikirkan amplop lebaran bisa sangat memusingkan.  Puasa juga baru mulai, tapi kita sering sudah pikir ke depan, dan mulai bikin daftar berapa banyak jatah amplop lebaran yang harus diberikan, dan untuk siapa aja ya? Parcel apa yang musti di beli, yang paling bagus buat client yang mana ya?

 
Buat yang pribadi, udah jauh jauh hari bikin list daftar jatah amplop/hadiah lebaran yang dibuat: ibu, bapak, kakak, adik, keponakan, sepupu, tukang ojek langganan, tukang koran, tukang sampah, paman-bibi, hansip, security, pembantu, tukang sayur langganan, anak kecilnya tetangga, tak lupa pula buat anak yatim dan yang tak mampu... nah ada yang terlupa gak ya?  Beberapa tahun ini, daftar penerima amplop saya udah berubah, saya cuma kasih sama yang membutuhkan aja, seperti pembantu, tukang ojek, anak yatim.  Saudara dan kerabat enggak perlu lagi kali ya!  Kan mereka tak perlu perlu sangat, cuma tradisi aja kok.  Gak apa, di-cap pelit juga.  Saya cuma pingin mengurangi budaya amplop amplopan yang gak perlu.

 
Di hitung hitung, bonus lebaran dari kantor, memang tugasnya cuma buat mampir sebentar di tangan hehehe...Jangan pernah mikir mau mangkir dari tugas menjadi santa klaus di penghujung bulan puasa...(Tradisi memberi memang bagus buat dilestarikan.  Sayangnya tradisi memberi dihari lebaran lebih dikarenakan gengsi, status, dan nggak enak hati takut dikatain pelit,  bukan selayaknya memberi bantuan yang tepat, pada saat yang tepat dan orang yang tepat ).

 
Gandulan ketiga: Urusan Perut

Mentang mentang puasa, kebanyakan dari kita merasa berbuka puasa makanannya harus istimewa, sahurnya pun begitu.  Segala jenis makanan yang biasanya jarang ditemui kalau tidak di bulan Ramadhan, tiba tiba bermunculan.  Siap memuaskan dahaga mata dan dahaga perut.  Pesta perut dan mulut terjadi di waktu waktu makan yang aneh..(contohnya biar bisa makannya lebih puas, mulai ngemil jam 2 malam!)  Lah, katanya detox racun di badan semasa puasa?  Cape deh!

 
Gandulan ke-empat: kehilangan rasa khidmat dan khusuk justru karena tambah banyaknya kebisingan.  Petasan sahut sahutan dari magrib sampai subuh.  Beduk, tong, ngamen keliling sudah mulai dari jam 1 dan jam 2 malam untuk bangunin orang.   .Bukan harga barang barang saja,  sound system mesjid di kampung saya setiap tahunnya juga naik volume nya.  Bertambah keras saja. 

 
Saking sibuknya mikirin yang kayak gini, kita lupa esensi dari kegiatan Ramadhan.  Inikah makna Ramadhan?  Saya rasa bukan.  Lha, terus puasanya gimana? Cuma dapat lapar dan haus?  Huh Capek deh!  ***

Thursday, August 23, 2012

Doa = Proposal


Supir taxi itu meminta waktu sebentar sewaktu akan membawa saya dari hotel Dusit Thani, di Pattaya ke airport di Bangkok.  Saya agak tercengang, minta waktu untuk apa? Dengan bahasa Inggris patah patah, dia bilang ingin berdoa dulu, supaya perjalanan selamat, dan rejekinya berkah.  Mesin mobil mati, saya lihat dia menangkupkan tangan, dan mulai melafalkan doa. Wow! 

Pembaca yang baik hati,
Seberapa serius/fokus kah kita manakala berdoa?  Mungkin Cuma ketika di tempat ibadah, atau setelah beribadah dan ketika kita menghadapi krisis.  Selebihnya?  Bagaimanakah kita berdoa?  Sekedarnya? Sambil lalu saja? (hmm, pasti ada yang protes ‘kita?’, ah kamu aja ‘kali…)


Pak Supir taxi Thailand itu memberikan tamparan virtualnya buat saya berdoa apa adanya, mengucap dengan nama Allah, kadang sambil lalu saja.  Sudah kebiasaan.  Sudah menjadi mekanik, tak berjiwa seperti robot saja.    Sepertinya tidak bersungguh sungguh.

Menurut saya, doa itu sifatnya hampir mirip proposal.  Bisa secara tertulis bisa juga non-verbal ketika mengajukannya.  Proposal seperti apa yang biasanya berhasil diterima?  Proposal dengan kesungguhan bukan ogah-ogahan ketika memintanya, proposal yang melibatkan usaha dari kedua pihak, peminta dan pihak yang bersetuju supaya bisa terwujud. 

Nah,  kalau proposal yang sungguh sungguh aja  belum tentu diterima, masa’ sih mengharap doa yang seadanya tanpa usaha diterima begitu aja?  Kita ini memang selfish ya!  ***