Saturday, September 11, 2010

Suatu Malam di Pantai Juhu

Apalah yang bisa di lihat di Mumbai dalam beberapa hari yang padat acara, selain gadis cantik dan cowok ganteng seperti di film film Bollywood, di tempat kami ber-acara di Grand Hyatt? Saya kepingin sekali melihat lihat Mumbai yang sebenarnya. Bukan yang glamor, wangi dan indah. Mumbai yang milik jelata, berkarakter dan berjiwa.
Dan saya cuma punya kesempatan satu malam untuk melakukannya, itupun sudah larut. Sudah hampir jam 10 malam sewaktu beberapa teman India saya berbaik hati mengajak jalan jalan ke Juhu. Pantai yang cukup ngetop di Mumbai ini, indah, katanya. Dan sering di pakai oleh para produser film Bollywood untuk shooting film. Teman saya Rakesh bilang, ‘pantai ini kelihatan glamor di film, tapi, lihat saja deh malam ini, Juhu bukan hanya milik borju.’

Pantai Juhu terletak sekitar 18 kilometer di bagian utara dari pusat suburbia Mumbai, sekitar setengah jam perjalanan berkendara dari Grand Hyatt tempat kami menginap. . Taxi kami adalah taxi kelas ‘bodol’, tanpa ac, tanpa seatbelt, tanpa meteran, dengan bodi mungil yang ruang kursinya mesti berbagi, duduk berduaan terpaksa beradu badan. Dan rasanya normal normal saja naik taksi kelas bodol ini dari hotel mewah sekelas Grand Hyatt. Tak ada satupun dari kami yang merasa inferior biarpun sekeliling kami bintang bintang wangi dan cantik ganteng bermodalkan mobil mewah seliweran.

Malam sudah larut, tetapi menikmati kesibukan jalanan di Mumbai, serasa malam baru saja dimulai. Banyak orang masih keluyuran di jalan, para penjaja kaki lima dan pasar kaget di tepi jalan raya masih terang benderang, anak kecil dan remaja pun tak ketinggalan. Tak jauh dari kesibukan malam Jakarta.

Juhu menurut saya mirip-mirip pantai Kuta di Bali yang pemandangannya selalu spektakular kapanpun dilihat. Sayang, saya tak sempat lihat sunset yang katanya spektakular dilihat dari pantai Juhu ini yang menghampar luas ke laut Arabia. Yang membuatnya menarik dilihat malam seperti ini mungkin justru adalah kesibukan disana dan para pengunjungnya.

Hal pertama yang menyambut di area masuk ke pantai Juhu ini adalah deretan kios makanan, gemerlap dengan lampu neon kuningnya dan asesori makanan di diplay Hmm surga makanan local jika mau mencobanya. Sayang kami masih super kenyang, dari acara cocktail dan makan malam di hotel dengan para calon klien kami.

Sembari berjalan menyusuri pantai dengan kawan saya Rakesh, Sheema dan Sanjay, saya menikmati pantai Juhu dan mengambil beberapa foto. Sementara kedua kawan kami yang lain entah kemana. Tapi tak apa, angin sepoi dari arah laut sudah membuat mood saya senang luar biasa.

Ini oleh oleh photo amatiran yang saya buat:

Komidi Monyet

‘Uncle, uncle…’ teriak seorang gadis kecil kea rah seorang lelaki paruh baya yang menggandeng monyet di tangannya. Rupanya sang gadis cilik itu sedang jalan jalan malam dengan ibunya. Setelah tawar menawar untuk monyet penampilnya, sang Bapak menyuruh sang monyet beraksi, menari dan lari lari. Beberapa orang lagi berkerumun menonton.

Kaki lima di pantai. Dimana ada orang, disitulah ada kaki lima. Barang dagangannya tidak jauh beda dengan kaki lima di Indonesia, mainan anak anak, dan asesori wanita dengan warna warni neon yang menyolok. Tak jauh dari sana ada komidi putar ukuran kecil. Pemiliknya sedang asyik memutar komidi, dan 2 orang gadis cilik yang naik komidi putar tengah menjerit ngeri dan senang diiringi debur ombak pantai yang Cuma kelihatan busa putihnya meliuk menari…

Tak jauh dari sana, ada yang berkelap kelip dengan lampu disko dan music lokal yang bergairah. Rupanya para penjaja penyewaan mesin berat badan dan mesin pembaca nasib yang di lengkapi dengan layar tv mini tempat orang yang sedang menimbang berat badan atau membaca nasibnya bisa menikmati film atau pun lagu. Dasar Bollywood, tak mau ketinggalan dunia hiburan…



Es serut dan Jagung Bakar
Sanjay kawan saya mengajak mampir ke tukang es yang memajang botol dengan warna sirop mencolok, lebih pantas jadi warna cat dinding di sekolah TK. Sewaktu mereka menawarkan membelikan es serut yang di rendam sirop warna warni itu, saya agak ragu. saya curiga warna nya berasal dari pewarna industri. Belum lagi dari segi kebersihan, jari tangan si abang penjaja nya kelihatan kotor.
 Apa karena kulitnya memang gelap ya hahaha. Mau menolak tak enak. Dikira nanti sok borju, meskipun teman India saya yang sudah lama hidup di US sudah menolak atas nama kami berdua. Saurabh teman saya yang lain bilang sembari bercanda: ‘oh come on, you’ve got to try it. It’s a rare chance for you to get cholera…’ – ‘ayolah coba. Kapan lagi ada kesempatan langka untuk dapet kolera, hahaha’.

Saya nyerah juga, dan memilih sirop warna coklat, yang saya anggap lebih aman. Saya coba es serut itu sececap, rasanya aneh. Tak ada manis manisnya. Asin dan asam. ‘Oh itu memang isinya es, garam dan asam atau jeruk nipis’ sela Sanjay ketika saya tanya. Lalu darimana warna coklatnya? ‘mungkin dari air laut yang butek itu,’ kata Saurabh terkikik. Saya tak bisa berpura pura menikmati es coklat palsu ini, yang akhirnya jadi penghuni tong sampah. Maaf deh.

Untuk menghibur saya dari kecewa es palsu itu, sanjay kembali mentraktir saya. Kali ini makan jagung bakar, yang sebenarnya sudah saya tolak, tapi akhirnya saya terima dengan berat hati. Ah, ternyata rasanya juga hampir sama anehnya dengan es serut coklat asin itu. Rupanya jagung bakar di pantai Juhu ini memakai campuran, bukan mentega dan bumbu barbekyu, tapi taburan garam dan perasan jeruk nipis! Hah! Ketemu lagi deh…

Setelah puas menikmati Juhu, kami kembali ke dunia palsu Mumbai dalam gemerlap dan wangi nya hotel bintang lima Grand Hyatt yang jauh sekali dari dunia nyata disana…