Beberapa tahun lalu, ketika baru saja patah hati, saya mencoba menghibur diri dengan mengunjungi pusat belanja. Tidak seharusnya saya terkejut dengan harga harga disana mengingat mall ini adalah salah satu termewah di Jakarta. Tapi saya terkejut juga, bahkan merasa tercekik, sewaktu melihat harga sepotong kain kaus polos sebesar kepalan tangan berwarna biru cerah dan merah benderang.
Benda itu kelihatan seperti be-ha, penutup dada. Betul, penutup dada! Tapi kenapa yang kanan biru, dan yang kiri merah ya? Ah tolol kamu! Kata saya dalam hati. Ini mode tahu! Saya rasa, harga itu bukan untuk barangnya, tetapi untuk mereknya:Benetton. Padahal ini di buat di Indonesia juga. Coba kalau barang yang sama di jual di pasar Tanah Abang dengan nama Bentol, bukan Benetton. Sumpah, pasti di jual murah pun belum tentu laku. Itulah kekuatan sebuah nama…
Harganya di mall ini, lima ratus ribu rupiah! Ya ampun! Dengan harga gila itu saya bisa traktir lima puluh gelandangan makan nasi goreng gila, sepiring tiap orang nya. Pasti lebih heboh rasanya, dari pada memakai be-ha dimana tak seorangpun bisa melihat mereknya, kecuali kalau saya tidak waras dan berjalan jalan di tempat umum untuk memamerkannya.
Beruntung akal sehat saya masih menyala layaknya pake batterai baru Energizer. Coba kalau saya kesurupan barang itu, pasti sudah saya beli sang be-ha, cuma untuk memuaskan kebanggaan yang tak masuk akal. Sudah patah hati, bangkrut pula bah! Tapi percaya atau tidak, hingga kini, saya masih memimpikan dan mengingat benda kecil kurang ajar itu….
Berapa banyak dari kita mengalami kegilaan sesaat seperti ini? ‘Harus punya!’ ‘Pokoknya saya mau!’ ‘Saya butuh!’ ‘Saya pingin!’ ‘Harus! Harus!’. Hidup di dunia dan budaya tinggi materialistis memang tidak gampang. Apalagi di dukung oleh sarana, prasarana dan iklan yang heboh. Yang meninabobokan kita dengan kelembutan, kemanisan, kehebatan, kekuatan, kelezatan dan keindahan imaji, gambar dan suara. Hmm air liur mengalir tanpa terasa. Adrenalin menggebu gebu. Ingin. Butuh. Harus dapat! Desakan dan kegatalan untuk membeli dan memiliki…Haduh, walaupun isi kantong kita tipis, dan nominal yang kita punya adalah jumlah hutang kita, tapi itu tidak menghentikan kita…Ah masih ada teman, saudara, bank dan kartu kredit kok…boleh pinjem dooong.
Sebagai salah satu korban sukarela dari iklan, saya selalu merasa bahwa membeli, memelihara, dan mempamerkan sesuatu milik pribadi adalah salah satu terapi untuk rasa percaya diri saya. Contohnya handphone. Sebelumnya saya cuek saja menggunakan handphone butut yang hampir punah dari peradaban. Tetapi melihat iklan yang manjur itu, dan komentar sirik dan memalukan dari kawan kawan membuat saya enggan dengan handphone super jelek itu. Jadilah dia korban ‘habis manis sepah dibuang’. Dan saya membeli hp yang lebih kinclong. Dompet saya terluka, tapi tindakan ini memberikan rasa percaya diri saya kembali. Ah dangkal sekali kita kita ini, eh maksudnya sih saya gitu…Bener juga kata si penulis “Decoding Advertisement” Judith Williamson - “Shopping gives you a sense of choice and power which is often absent from the rest of your life”
Tapi boleh dong kalau saya salahkan iklan yang hebat hebat itu sebagai biang kerok dari kelemahan iman saya dan Anda juga terhadap gaya hidup konsumerisme tinggi..Mungkin para praktisi marketing tak setuju dengan pendapat saya bahwa kecerdikan marketing taktik mereka benar benar hebat untuk mengubah bangsa kita, kaya dan miskin menjadi mahluk zombie baru penderita wabah belanja, yang bahasa kerennya ‘shopaholic’. Dan mengubah masyarakat kita menjadi penganut aliran sesat: ‘beli biarpun tak butuh’. Salah kita juga sih, lemah iman lemah mental. Kita selalu ingin rumah yang lebih besar, hp yang yahud, laptop super canggih, mobil yang lebih kinclong, TV keluaran terbaru, baju baju butik yang trendy, dan barang barang yang bisa membuat kita sebagai pemiliknya mengalami ledakan emosi orgasmic bangga memiliki … ah tak ada habisnya.
Memang ya, aliran sesat ‘beli biarpun tak butuh’ sudah menjadi epidemi dunia. Apalagi dunia perempuan. Coba nih lihat angka tahunan belanja dunia untuk kosmetik, beberapa tahun lalu, 18 milyar dollar! Dasar perempuan! (eh saya juga ya..). Bandingkan dengan data dari WHO beberapa tahun lalu ini dimana perkiraan biaya total tahunan untuk imunisasi anak di seluruh dunia, penyediaan air minum dan pencapaian angka bebas buta huruf, berada di bawahnya, Cuma 16 milyar dollar. Haduh! Hayo sahabat perempuan, insyaf doong!
Tapi maaf ya, seperti saya bilang tadi, kan saya korban sukarela juga dari konsumerisme dan produk produk keren, jadi bukan berarti saya merasuk dan menyumpah serapahi konsumsi modern sebagai dangkal dan dekaden lho. Saya penikmat nya kok. Nikmaat! Jadi mungkin saya mesti berubah pikiran. Bukan hanya salah para marketer kaya raya itu untuk membuat kita menjadi tambah miskin, biang keroknya kita juga sih. Kita, keserakahan dan kedangkalan sendiri. Coba saking serakahnya ingin mencapai lebih dan lebih lagi untuk membayar gaya hidup tinggi, kita tidak peduli walaupun harus mencuri gaya sophisticated (korupsi), walaupun harus menumpuk hutang, walaupun harus lembur tiap malam… lupa ya? Ada keluarga nungguin di rumah lho! Ada diri sendiri yang mesti di manjain kesehatan dan batinnya lho!
Jadi harus gimana dong? Masak harus hidup bak pertapa, enggak lucu dong! Mungkin salah satunya, harus begini ya:
Hargailah milik kita. Sadarilah, berapa banyak investasi yang harus dan sudah kita lakukan untuk mendapatkan milik kita tersebut. Uangnya. Energinya. Mikirnya. Waktunya. Usahanya untuk bisa beli. Dengan menghargai dan menimbang seperti itu, Anda lebih menghargai diri sendiri dan benda benda milik Anda itu. Rasakan deh, biar gimana, kita masih jauh lebih beruntung dari sebagian besar penduduk bumi ini. Jangan suka takabur.
Pikir sebelum beli. Tanya diri sendiri dan jawab secara jujur. Apa sih alasan yang masuk akal dibalik niat menghabiskan uang dengan membeli. Teman? Ikut trend? Meningkatkan percaya diri? Atau benar benar butuh? Bisakah Anda hidup tanpa benda tersebut? Jangan hanya karena banyak teman Anda menggunakannya, atau bintang iklan bilang Anda membutuhkannya, Anda lantas berpikiran sama. Jangan gampang tergoda. Kan Anda sang Master dari diri Anda sendiri. Bukan orang lain. Dan Anda tidak perlu membuktikan apapun kepada orang di sekitar Anda kecuali dengan karya dan kebaikan. Kalau Anda pikir Anda butuh memanjakan diri, baiklah, belilah sesuka Anda. Tapi ikuti saran ke 3.
Beli, tapi dengan bijaksana. Tantang diri Anda untuk menghabiskan uang dengan cara hebat tanpa menyesal. Caranya habiskanlah dengan sadar. Beli lah barang yang sesuai dengan kebutuhan Anda, aman, dan tidak merusak diri, keluarga dan lingkungan. Kalau Anda bosan dengan banyak uang di tangan Anda, kenapa tidak berbagi dengan yang membutuhkannya? Misalnya, dengan saya.
Jika nafsu berbelanja Anda benar benar parah, ya, sudahlah Anda memang pemboros. Saatnya untuk menghukum Anda dengan mengikuti bootcamp atau ulang lagi ketiga proses yang sama, hargai yang Anda punya, pikir sebelum membeli, dan belilah dengan bijaksana.
Yang terakhir, pikirlah ini: seberapa kayapun kita, seberapa hebatpun kita, yang kita perlukan setiap kalinya hanya satu! Kita tak bisa berada di dua mobil pada saat yang sama. Kita Cuma butuh sepasang sepatu untuk berjalan, kita Cuma makan dari satu mulut! Jadi buat apa semua kemewahan itu?
Untuk saya sendiri, baiklah saya berjanji akan melupakan beha yang sempat membuat makan tak enak tidur tak nyenyak, dan bertanya tanya, apakah saya butuh? Atau saya Ingin? Saya mencoba kembali ke jalan yang benar, dan turuti kata pepatah: Live simply so other can simply live…
(sudah kelar baca artikel ini? Hayo! Waktunya belanjaaa hahaha!)
Artikel dimuat di http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/26/364/balada_sang_be-ha_antara_butuh_dan_ingin
Benda itu kelihatan seperti be-ha, penutup dada. Betul, penutup dada! Tapi kenapa yang kanan biru, dan yang kiri merah ya? Ah tolol kamu! Kata saya dalam hati. Ini mode tahu! Saya rasa, harga itu bukan untuk barangnya, tetapi untuk mereknya:Benetton. Padahal ini di buat di Indonesia juga. Coba kalau barang yang sama di jual di pasar Tanah Abang dengan nama Bentol, bukan Benetton. Sumpah, pasti di jual murah pun belum tentu laku. Itulah kekuatan sebuah nama…
Harganya di mall ini, lima ratus ribu rupiah! Ya ampun! Dengan harga gila itu saya bisa traktir lima puluh gelandangan makan nasi goreng gila, sepiring tiap orang nya. Pasti lebih heboh rasanya, dari pada memakai be-ha dimana tak seorangpun bisa melihat mereknya, kecuali kalau saya tidak waras dan berjalan jalan di tempat umum untuk memamerkannya.
Beruntung akal sehat saya masih menyala layaknya pake batterai baru Energizer. Coba kalau saya kesurupan barang itu, pasti sudah saya beli sang be-ha, cuma untuk memuaskan kebanggaan yang tak masuk akal. Sudah patah hati, bangkrut pula bah! Tapi percaya atau tidak, hingga kini, saya masih memimpikan dan mengingat benda kecil kurang ajar itu….
Berapa banyak dari kita mengalami kegilaan sesaat seperti ini? ‘Harus punya!’ ‘Pokoknya saya mau!’ ‘Saya butuh!’ ‘Saya pingin!’ ‘Harus! Harus!’. Hidup di dunia dan budaya tinggi materialistis memang tidak gampang. Apalagi di dukung oleh sarana, prasarana dan iklan yang heboh. Yang meninabobokan kita dengan kelembutan, kemanisan, kehebatan, kekuatan, kelezatan dan keindahan imaji, gambar dan suara. Hmm air liur mengalir tanpa terasa. Adrenalin menggebu gebu. Ingin. Butuh. Harus dapat! Desakan dan kegatalan untuk membeli dan memiliki…Haduh, walaupun isi kantong kita tipis, dan nominal yang kita punya adalah jumlah hutang kita, tapi itu tidak menghentikan kita…Ah masih ada teman, saudara, bank dan kartu kredit kok…boleh pinjem dooong.
Sebagai salah satu korban sukarela dari iklan, saya selalu merasa bahwa membeli, memelihara, dan mempamerkan sesuatu milik pribadi adalah salah satu terapi untuk rasa percaya diri saya. Contohnya handphone. Sebelumnya saya cuek saja menggunakan handphone butut yang hampir punah dari peradaban. Tetapi melihat iklan yang manjur itu, dan komentar sirik dan memalukan dari kawan kawan membuat saya enggan dengan handphone super jelek itu. Jadilah dia korban ‘habis manis sepah dibuang’. Dan saya membeli hp yang lebih kinclong. Dompet saya terluka, tapi tindakan ini memberikan rasa percaya diri saya kembali. Ah dangkal sekali kita kita ini, eh maksudnya sih saya gitu…Bener juga kata si penulis “Decoding Advertisement” Judith Williamson - “Shopping gives you a sense of choice and power which is often absent from the rest of your life”
Tapi boleh dong kalau saya salahkan iklan yang hebat hebat itu sebagai biang kerok dari kelemahan iman saya dan Anda juga terhadap gaya hidup konsumerisme tinggi..Mungkin para praktisi marketing tak setuju dengan pendapat saya bahwa kecerdikan marketing taktik mereka benar benar hebat untuk mengubah bangsa kita, kaya dan miskin menjadi mahluk zombie baru penderita wabah belanja, yang bahasa kerennya ‘shopaholic’. Dan mengubah masyarakat kita menjadi penganut aliran sesat: ‘beli biarpun tak butuh’. Salah kita juga sih, lemah iman lemah mental. Kita selalu ingin rumah yang lebih besar, hp yang yahud, laptop super canggih, mobil yang lebih kinclong, TV keluaran terbaru, baju baju butik yang trendy, dan barang barang yang bisa membuat kita sebagai pemiliknya mengalami ledakan emosi orgasmic bangga memiliki … ah tak ada habisnya.
Memang ya, aliran sesat ‘beli biarpun tak butuh’ sudah menjadi epidemi dunia. Apalagi dunia perempuan. Coba nih lihat angka tahunan belanja dunia untuk kosmetik, beberapa tahun lalu, 18 milyar dollar! Dasar perempuan! (eh saya juga ya..). Bandingkan dengan data dari WHO beberapa tahun lalu ini dimana perkiraan biaya total tahunan untuk imunisasi anak di seluruh dunia, penyediaan air minum dan pencapaian angka bebas buta huruf, berada di bawahnya, Cuma 16 milyar dollar. Haduh! Hayo sahabat perempuan, insyaf doong!
Tapi maaf ya, seperti saya bilang tadi, kan saya korban sukarela juga dari konsumerisme dan produk produk keren, jadi bukan berarti saya merasuk dan menyumpah serapahi konsumsi modern sebagai dangkal dan dekaden lho. Saya penikmat nya kok. Nikmaat! Jadi mungkin saya mesti berubah pikiran. Bukan hanya salah para marketer kaya raya itu untuk membuat kita menjadi tambah miskin, biang keroknya kita juga sih. Kita, keserakahan dan kedangkalan sendiri. Coba saking serakahnya ingin mencapai lebih dan lebih lagi untuk membayar gaya hidup tinggi, kita tidak peduli walaupun harus mencuri gaya sophisticated (korupsi), walaupun harus menumpuk hutang, walaupun harus lembur tiap malam… lupa ya? Ada keluarga nungguin di rumah lho! Ada diri sendiri yang mesti di manjain kesehatan dan batinnya lho!
Jadi harus gimana dong? Masak harus hidup bak pertapa, enggak lucu dong! Mungkin salah satunya, harus begini ya:
Hargailah milik kita. Sadarilah, berapa banyak investasi yang harus dan sudah kita lakukan untuk mendapatkan milik kita tersebut. Uangnya. Energinya. Mikirnya. Waktunya. Usahanya untuk bisa beli. Dengan menghargai dan menimbang seperti itu, Anda lebih menghargai diri sendiri dan benda benda milik Anda itu. Rasakan deh, biar gimana, kita masih jauh lebih beruntung dari sebagian besar penduduk bumi ini. Jangan suka takabur.
Pikir sebelum beli. Tanya diri sendiri dan jawab secara jujur. Apa sih alasan yang masuk akal dibalik niat menghabiskan uang dengan membeli. Teman? Ikut trend? Meningkatkan percaya diri? Atau benar benar butuh? Bisakah Anda hidup tanpa benda tersebut? Jangan hanya karena banyak teman Anda menggunakannya, atau bintang iklan bilang Anda membutuhkannya, Anda lantas berpikiran sama. Jangan gampang tergoda. Kan Anda sang Master dari diri Anda sendiri. Bukan orang lain. Dan Anda tidak perlu membuktikan apapun kepada orang di sekitar Anda kecuali dengan karya dan kebaikan. Kalau Anda pikir Anda butuh memanjakan diri, baiklah, belilah sesuka Anda. Tapi ikuti saran ke 3.
Beli, tapi dengan bijaksana. Tantang diri Anda untuk menghabiskan uang dengan cara hebat tanpa menyesal. Caranya habiskanlah dengan sadar. Beli lah barang yang sesuai dengan kebutuhan Anda, aman, dan tidak merusak diri, keluarga dan lingkungan. Kalau Anda bosan dengan banyak uang di tangan Anda, kenapa tidak berbagi dengan yang membutuhkannya? Misalnya, dengan saya.
Jika nafsu berbelanja Anda benar benar parah, ya, sudahlah Anda memang pemboros. Saatnya untuk menghukum Anda dengan mengikuti bootcamp atau ulang lagi ketiga proses yang sama, hargai yang Anda punya, pikir sebelum membeli, dan belilah dengan bijaksana.
Yang terakhir, pikirlah ini: seberapa kayapun kita, seberapa hebatpun kita, yang kita perlukan setiap kalinya hanya satu! Kita tak bisa berada di dua mobil pada saat yang sama. Kita Cuma butuh sepasang sepatu untuk berjalan, kita Cuma makan dari satu mulut! Jadi buat apa semua kemewahan itu?
Untuk saya sendiri, baiklah saya berjanji akan melupakan beha yang sempat membuat makan tak enak tidur tak nyenyak, dan bertanya tanya, apakah saya butuh? Atau saya Ingin? Saya mencoba kembali ke jalan yang benar, dan turuti kata pepatah: Live simply so other can simply live…
(sudah kelar baca artikel ini? Hayo! Waktunya belanjaaa hahaha!)
Artikel dimuat di http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/26/364/balada_sang_be-ha_antara_butuh_dan_ingin